SAKSI
HANDAL HIDUP BAKTI DAN PEMBAHARUAN HIDUP ROHANI
(Sebuah
Pesan bagi Hidup dan Pelayanan Para Suster Wajah Kudus – Mengenang 25 tahun
Kehadiran Para Suster Wajah Kudus di Indonesia)
Oleh:
Stef. Buyung Florianus, O.Carm
CATATAN AWAL
Tahun 2015 ini merupakan tahun
yang istimewa bagi kita para Religius. Paus Fransiskus telah menetapkannya
sebagai tahun hidup bakti. Itulah sebabnya, tahun 2015 ini menjadi kesempatan
emas bagi kita untuk menengok kembali kehidupan kita, melihat jati diri kita
sebagai orang-orang yang dipanggil untuk menghayati hidup kebiaraan, sehingga
kita bisa sungguh-sungguh menjadi saksi handal di tengah dunia ini. Para
“Suster Wajah Kudus” tentu dengan caranya telah dan sedang mengisi tahun yang
indah ini. Paus Paulus VI dalam Himbauan Apstoliknya Evangelii Nuntiandi tentang Karya Pewartaan Injil dalam Zaman
Modern (8 Desember 1975) mengatakan, “Manusia modern lebih senang mendengarkan
kesaksian daripada para pengajar. Dan bila mereka mendengarkan para pengajar,
hal itu disebabkan karena para pengajar tadi merupakan saksi-saksi.”[1]
Lalu St. Yohanes Paulus II, Paus menegaskan kembali dalam ensikliknya Redemptoris Missio tentang Amanat
Misioner Gereja, “Manusia dewasa ini lebih percaya lebih percaya pada pemberi-pemberi
kesaksian daripada pengajar-pengajar; lebih percaya pada pengalaman daripada
ajaran; dan lebih percaya pada kehidupan dan tindakan daripada teori-teori.”[2]
Kita sepakat bahwa Beata Maria
Pia Mastena adalah pertama-tama seorang pemberi kesaksian dan teladan hidup. Ia
mengajar dengan hidup dan membagikan teori melalui pengalaman hidupnya. Ia
mensharingkan apa yang ia buat dan hayati. Untuk mempermudah kita melihat
kesaksian dan teladan hidup Beata ini, ada empat bagian yang pantas kita
geluti: 1) tentang Hidup Bakti Selayang Pandang; 2) Sekilas Hidup Rohani; 3)
Maria Pia Mastena: Saksi Handal Hidup Bakti dan Hidup Rohani; dan 4) Pesan Bagi
Para Suster Wajah Kudus Zaman Ini.
HIDUP BAKTI SELAYANG PANDANG
Hidup
membiara atau hidup religius (Vita Consecrata) adalah sebuah kehidupan yang
dikuduskan Allah dan untuk dibaktikan kepada-Nya atau dipersembahkan hanya
untuk Allah di dalam Gereja-Nya demi keselamatan umat Allah. Sungguh sangat
menarik untuk kita simak adalah kata religius
itu sendiri: re – ligare (yang
berarti mengikat kembali. Kita diikat kembali dengan Allah. Ikatan kita yang
pertama terjadi pada saat kita dibaptis. Atau kata lain yang bisa juga
menolong: re – legare (yang berarti
mengutus kembali. Kita diutus oleh Allah untuk melayani umat-Nya). Semuanya ini
terangkum dengan sangat indah dalam Peraturan Hidup Kongregasi Suster-Suster
Wajah Kudus, “Kita membaktikan diri kepada Allah dengan pengikraran kaul-kaul
kemurnian, kemiskinan dan ketaatan di dalam suatu komunitas persaudaraan yang
diabdikan untuk kerasulan. Kita seutuhnya siap untuk perutusan yang
menyelamatkan dari Yesus Kristus yang telah mati dan bangkit.”[3]
Dan lagi, “Yesus Kristus yang diurapi oleh Roh Kudus untuk menginjili kaum
miskin, telah dikuduskan dan diutus untuk menyatakan cinta Bapa kepada kita
(Luk 4:18-19; Yoh 10:36). Kita yang ditarik oleh kekuatan Roh-Nya melalui suatu
panggilan pribadi yang cuma-cuma, disucikan bagi-Nya melalui pengikraran publik
nasihat-nasihat Injili, sembari menyatukan kurban hidup kita pada karya
penyelamatan-Nya (LG 44) demi suatu misi penebusan di dunia.”[4]
Itulah
sebabnya, seorang religius semestinya pertama-tama berarti seorang yang melihat
Allah semata-mata. Dan ini tidak lain adalah dimensi kontemplatif (contemplare:
melihat atau memandang) dari seorang religius. Ia mau melihat segala
sesuatu dengan mata Allah. Konsili Vatikan II dalam Perfectae Caritatis tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup
Religius mengatakan, “Dengan cara mereka masing-masing mereka menghayati hidup
yang dibaktikan kepada Allah.”[5]
“Maka dari itu para anggota setiap tarekat hendaklah mencari Allah satu-satunya
dan di atas segalanya.”[6]
St. Yohanes Paulus II, Paus dalam Anjuran Apostoliknya Vita Consecrata tentang Hidup Bakti bagi para Religius menegaskan,
“Di setiap masa ada orang-orang pria maupun wanita yang mematuhi panggilan Bapa
dan dorongan Roh Kudus, dan memilih cara khusus itu dalam mengikuti Kristus,
guna membaktikan diri kepada-Nya dengan hati yang ‘tidak terbagi’ (bdk. 1Kor
7:34).”[7]
Selain
itu, seorang religius adalah seorang yang di dalam hidup dan karyanya
menghayati Allah semata-mata. Maksudnya, ia mau melaksanakan segala sesuatu dan
bekerja segiat-giatnya bagi Tuhan dan dalam Allah. Inilah dimensi apostolik dalam hidup religius. Sungguh sangat indah, apa
yang dikatakan oleh para Bapa Konsili Vatikan II dalam Perfectae Caritatis, “Mereka wajib memadukan kontemplasi, yang
membuat mereka berpaut pada-Nya dengan budi dan hati, dengan cinta kasih
kerasulan, yang menjiwai usaha mereka menggabukan diri pada karya Penebusan dan
menyebarluaskan Kerajaan Allah.”[8]
Dan lagi St. Yohanes Paulus II menggarisbawahi, “Dimensi apostolis membuka hati dan budi para anggota hidup bakti,
dan menyiapkan mereka untuk dengan tabah berusaha dalam kerasulan, sebagai
tanda bahwa cintakasih Kristulah yang mendorong mereka (bdk. 2Kor 5:14).”[9]
Dengan demikian, seluruh kehidupan, apa yang dikatakan dan dibuat oleh seorang
religius lahir dari relasi yang mendalam dengan Tuhan. “Karya kerasulan yang
dilaksanakan dalam doa menjadikan kita orang yang kerja sama dengan Allah,
orang yang meneruskan karya keseamatan-Nya di dunia.”[10]
SEKILAS TENTANG HIDUP ROHANI
Rasul Paulus dalam surat
pertamanya kepada umat di Tesalonika menulis, “Moga-moga roh, jiwa dan ragamu
seluruhnya terpelihara tanpa cela pada kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus.”[11]
Kata-kata sang Rasul ini mengingatkan kita bahwa kita adalah makhluk yang
memiliki tiga dimensi: roh, jiwa dan raga. Namun sayang, dalam kehidupan kita,
kita tidak secara seimbang memperhatikan dimensi-dimensi tersebut. Seringkali
orang hanya memerhatikan jiwa dan raganya. Orang makan dan tidur serta belajar.
Roh sering terlupakan. Mengapa demikian? Orang sulit mencari saat-saat tertentu
untuk hening sebentar dan mengambil waktu untuk berdoa. Orang lebih suka
mencari istirahat dan mempunyai waktu ke tempat-tempat hiburan atau rekreasi
daripada memberikan waktu untuk beristirahat dalam Tuhan. Padahal saat doa,
saat beristirahat adalah waktu yang tepat bagi kita untuk membuka roh kita
terhadap Roh Allah. Yesus sendiri menawarkan kepada para murid-Nya untuk
beristirahat bersama Dia di tempat yang sunyi. “Marilah ke tempat yang sunyi,
supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!”[12]
Tempat sunyi adalah saat suci bersama Tuhan, saat indah karena kita tidak
sendirian, melainkan bersama Dia yang kita tahu mencintai kita. Pernyataan akhir pada sidang
pleno Konferensi Pemimpin Tarekat Religius Indonesia menegaskan kembali para
pelaku hidup bakti secara khusus sebagai makluk rohani. “.... kami disadarkan kembali
akan hakekat kami sebagai mistikus dan nabi. Mistikus dan nabi merupakan dua
sisi dari hakekat kami yang tidak terpisahkan. Karena itu kami dipanggil untuk
semakin memupuk relasi yang akrab dengan Allah, supaya bisa membaca tanda-tanda
jaman, dan mengenali kebutuhan dan harapan manusia dewasa ini, yang semakin
jauh dari panggilannya sebagai makhluk rohani.”[13]
Secara sederhana, sebagai makhluk rohani berarti manusia sungguh memerhatikan
hidup rohaninya. Itu berarti juga ia mau hidup dalam roh. Kita membiarkan diri
kita dikuasai oleh Allah, dibimbing oleh Roh-Nya yang kudus.
MARIA PIA MASTENA: SAKSI HANDAL HIDUP BAKTI DAN HIDUP
ROHANI
Beata Maria Pia Mastena pada zamannya telah menjadi saksi handal
bagaimana menghayati hidup bakti dan mengembangkan hidup rohani.
Dalam Kisah Hidupnya
Sejarah hidup Beata Maria Pia
Mastena tidak lain adalah sejarah kasih Tuhan dalam kehidupannya. Betapa Tuhan
mencintai-Nya, dan bagaimana Beata Maria Pia ini menanggapi cinta Tuhan dan
menjawabi kasih Allah dalam seluruh hidupnya. Ternyata sejak kecil dalam
keluarga, Maria Pia Mastena telah terlatih untuk hidup dalam kesalehan dan
penyerahan diri kepada Tuhan. Dia dilahirkan dari pasangan Giulio Mastena dan
Maria Antonia Casarotti di Bovolone (Italia) pada 7 Desember 1881 dan dididik
dalam keluarga yang baik lagi saleh. Kedua orangtua tersebut adalah orang
beriman yang sungguh bersemangat. Di dalam kamar tidurnya, Teresa (nama aslinya)
telah meletakkan sebuah gambar Wajah Kudus, yang tercorak oleh derita dan
siksaan. Di hadapan gambar itulah, sejak kecil ia biasa mendaraskan doa-doanya,
sehingga ciri-ciri khas-Nya itu tetap tergambar dalam hatinya, seumur hidupnya.[14]
Teresa seorang anak yang rajin
berdoa dan tekun mengikuti kegiatan-kegiatan paroki. Ia membawa teman-temannya
ke gereja untuk berdoa di depan tabernakel, dan mengajar mereka bagaimana harus
mengambil bagian dalam perayaan ekaristi, bagaimana mereka harus menghormato Hati
Kudus Yesus dan Santa Perawan Maria. Dia juga diperkenankan menerima Komuni
pertama dalam usia yang masih sangat muda, 10 tahun, 19 Maret 1891 (sebelum
keputusan Paus Pius X, anak boleh menerima komuni pada usia 12 tahun). Pada
tahun yang sama ini ia mengalami sebuah penglihatan, Wajah Kudus Yesus tengah
sebuah salib.[15]
Pada 7 September 1901, saat
berusia 20 tahun, ia masuk biara Suster-Suster Belaskasih. Lalu pada 11 April
1903, atas restu pemimpin, ia mengucapkan kaul istimewa, kaul pribadi sebagai
korban, yakni dalam kesatuan dengan Yesus Tersalib ia rela menerima seluruh
penderitaan yang akan dijumpainya dan juga kematian. Pada 24 , ia mengucapkan
kaul kebiaraan untuk hidup selama-lamanya dalam kemiskinan, ketaatan dan
kemurnian, dengan mengambil nama biara Suster Passitea Maria dari Kanak-Kanak
Yesus. Dia sungguh-sungguh menghayati hidup panggilannya, dan minta dukungan
dan doa dari orangtua. Baginya lebih baik mati daripada menjadi seorang
religius yang tidak pantas.[16]
Pada suatu saat ia merasakan
bahwa ia ingin memberikan dirinya seutuhnya kepada Tuhan dalam sebuah
pertapaan. Tetapi di sisi lain, dalam hati kecilnya ada juga sebuah kerinduan
untuk mendirikan sebuah komunitas religius yang baru, yang dibaktikan kepada
kontemplasi Wajah Kudus Yesus. Mgr. Andrea Caron, sebagai Uskup Keuskupan
Vittorio Veneto mendorongnya, dengan berkata, “Mari mulailah... kamu sendiri
dapat mendirikan satu Kongregasi baru yang mengambil inspirasi dari Wajah Kudus
Yesus.”[17]
Selanjutnya, Ibu Pendiri ini mengalami banyak kesulitan, suka duka, penderitaan
dan penghinaan untuk memulai tarekat ini, bahkan nyaris dibubarkan. Pada 30
Oktober 1936, Kongregasi Suci untuk Kaum Religius mengabulkan permohonan
pendirian tarekat, dan akhirnya 8 Desember 1936, keluarga religius Wajah Kudus
didirikan secara kanonik pada tingkat diosesan dan para susternya menerima
Peraturan Hidup. Ibu Pendiri Beata Maria Pia Mastena tetap pada pendiriannya,
“Kita adalah Suster Wajah Kudus, yakni Wajah Yesus yang dihina, dianiaya,
ditusuk duri, diludahi, ditampar.”[18]
Dalam Kata-Kata dan Nasihatnya
Lewat
kata-kata dan nasihatnya, Beata Maria Pia mengungkapkan beberapa hal yang
menunjukkan bagaimana seharusnya kita menghayati panggilan hidup bakti dan
menumbuhkan hidup rohani kita. Itu semua ia ungkapkan dari apa yang dia
perjuangkan dan dia hayati. Ada beberapa aspek yang patut kita perhatikan:
1) Seutuhnya Bagi Yesus Tersalib
Beata
Maria Pia Mastena mau hidup semata-mata bagi Tuhan, bagi Yesus. Ibu Pendiri
para Suster dari Wajah Kudus ini pernah berkata, “Saya ini seorang religius,
yang membaktikan diri secara khusus sebagai kurban kepada Yesus tersalib.”[19]
“Kuatkanlah hatimu, Ibumu pula sungguh berada di atas kayu salib: dari setiap
sudut, dengan seribu cara, dengan bentuk yang paling menyiksakan, iblis
membangkitkan alat-alat penganiyaan. Kita adalah suster-suster Wajah Kudus,
yakni wajah Yesus yang dicorek, disiksa, ditusuk oleh duri-duri, diludahi,
ditampar. Apakah kita tidak mau jadi gambar-Nya yang sempurna.”[20]
Dalam surat permohonannya kepada Kongregasi para Religius untuk memperoleh
pengakuan kanonik, ia menulis, “Para Suster membaktikan diri kepada Allah dan
mengurbankan diri kepada-Nya sebagai KURBAN, agar terutama disilih dan
dipulihkan gambaran ilahi dari Yesus yang manis.... Setiap komunitas akan
dijadikan pusat penyilihan....”[21]
Dalam catatan hariannya, ia berkata, “... saya ingin mempersembahkan pada
setiap detik, sebanyaknya saat yang ada dalam keabadian, hatiku, tubuhku,
rohku, kehendakku, dengan menyerahkan semuanya itu di antara api yang sunguh
menyala-nyala dari sang Hati ilahi, agar segala-galanya dikurbankan demi
kemulian-Nya dan keselamatan seluruh dunia, dengan menyatukan kurban ini dengan
sang Kurban Kalvari agar setiap hari saya menyerahkan diri kepada Bapa ilahi.”[22]
Beata Maria Pia Mastena juga dalam
hidupnya mau melaksanakan segala-galanya dalam dan untuk Tuhan, untuk Yesus
kekasih jiwanya. Ia pernah menulis, “Ya, kurban, maka, wahai jiwaku, engkau
akan mempersembahkan kepada Hati Yesus yang Mahakudus melalui tangan Ibu
surgawiku, apa saja yang engkau laksanakan, apa saja yang engkau pikirkan,
nikmati dan derita, seluruh hidupmu... demi pertobatan orang-orang berdosa,
agar orang kafir diterangi, demi perdamaian di seluruh dunia, demi keperluan
umum dan khusus dalam Gereja.”[23]
Ia melanjutkan, “Apa saja yang akan saya laksanakan dengan tanganku, saya ingin
agar hal itu menjadi suatu karya yang tetap di seputar Hati Yesus yang amat
manis, agar dengan tangan yang satu dihalangi oleh dosa-dosa manusia, sehingga
Ia tidak terlukai, dan dengan tangan yang lain membentuk suatu karangan bunga
sebagai tanda hormat, adorasi dan kasih untuk menggantikan duri-duri yang ingin
saya cabut daripada-Nya.”[24]
Dan lagi ia mengatakan, “Ya Yesus, betapa Engkau menderita oleh karena
jiwa-jiwa yang dibaktikan kepada-Mu! Kekurangan dalam semangat! Kekurangan
dalam kasih! Dan aku ini? Bagaimana dengan aku ini? Saya ingin menghancurkan
diri pada setiap saat: menghancurkan diri di hadapan-Mu oleh karena kasih,
kasih yang menyilih, kasih tambahan, kasih yang melebihi segala kasih yang
lain.”[25]
2) Melayani Seperti Yesus
Beata Maria Pia Mastena hidup
dalam Allah, dan Allah hidup dalam dirinya. Sehingga bersama Paulus, ia pun
boleh berkata, “Aku hidup tapi bukan lagi sendiri yang hidup, melainkan
Kristuslah yang hidup di dalam aku.”[26]
Ia tidak ragu-ragu untuk mengenakan pada dirinya apa yang menjadi hidup Yesus.
Ia pernah mengatakan, “Yesus telah memberi kepadaku kasih bagi semua; kasih
yang berbela rasa... maka aku juga membuka tanganku dan berkata bersama dengan
pengantin ilahiku, ‘Datanglah kepadaku, kamu semua yang letih lesu dan berbeban
berat, kamu semua yang lapar... kamu semua yang saya kasihi dan yang berkenan
kepada hatiku!’ Ketika kamu tidak akan menderita lagi... maka ibumu tidak
berguna lagi bagimu. Ia telah menaruh dalam diriku satu kesukaan yang suci
bagimu.”[27]
Beata Maria Pia Mastena mau
melayani seperti Yesus. Itulah sebabnya, ia tidak takut bila menghadapi banyak
kesulitan dalam hidup dan pelayanannya. Dalam salah satu suratnya kepada para
susternya, ia menulis, “Marilah kita bekerja, bekerja untuk menyelamatkan
jiwa-jiwa bagi Tuhan. Apakah kita dihalangi? Hiduplah Yesus. Apakah kita
difitnah? Hiduplah Yesus. Apakah kita dibalas dengan sikap yang kurang
berterimakasih? Hiduplah Yesus, senantiasa hiduplah Yesus.”[28]
3) Menyenangkan Yesus dan Menghibur Dia
Beata
Maria Pia mempunyai semangat untuk menyenangkan dan menghibur Yesus. Dalam
salah satu suratnya kepada putri-putrinya, ia menulis, “Saya berharap bahwa
kamu semua bukan hanya mawas diri dan sangat berkelakuan baik, melainkan dengan
bantuan Yesus pengantimu yang manis, kamu akan sungguh baik, sehingga kamu akan
menarik pandangan-pandangan ilahi-Nya oleh karena kamu berkenan kepada-Nya.
Betapa besar kebahagiaan yang ada dalam diri kita oleh karena kesadaran bahwa
kitalah penghibur kasih hati-Nya yang ilahi, oleh karena kesadaran bahwa kita
berkenan kepada-Nya.”[29]
Dalam suratnya yang lain, ia menulis, “Janganlah menyedihkan wajah ilahi yang
manis itu yang terus menerus memandang kita dengan pandangan-pandangan-Nya yang
bersinar penuh kelembutan yang tak terucapkan, sembari memohon pelipuran,
penyilihan dan tindakan-tindakan yang paling halus dari kasih kita. Wajah Kudus
telah dipercayakan kepada kita dan kita ingin menjadikan-Nya selalu puas dan
senang secara ilahi, senantiasa tersenyum.”[30]
PESAN BAGI PARA SUSTER WAJAH KUDUS ZAMAN INI
Beata Maria Pia Mastena bukan
hanya menjadi saksi handal pada zamannya, tetapi juga pada zaman kita ini.
Hidup dan kata-katanya telah dan terus menjadi pesan bagi orang-orang zaman
ini, khususnya bagi para Suster Wajah Kudus.
Dunia berubah – Yesus tidak pernah berubah
Kita berada dalam sebuah dunia
yang begitu cepat berubah. Dunia ini sudah dan terus berubah. Ada dua ekstrim
yang seringkali terjadi dalam hidup ini. Di satu pihak, banyak orang terseret
oleh arus perubahan zaman, dan lalu hancur berantakan hidupnya. Namun di pihak
lain, tidak sedikit orang yang tidak mengikuti zaman, menjadi kolot dan mati
dalam tempurung kehidupan mereka. Itulah sebabnya, kita diundang untuk
bijaksana dalam menyesuaikan diri dengan arus perubahan zaman ini, jangan
sampai kita larut oleh zaman, dan jangan sampai kita ketinggalan kereta dalam
perjalanan hidup ini. Pernyataan akhir pada sidang Pleno Konferensi Pemimpin
Tarekat Religius Indonesia patut kita perhatikan, khususnya berkaitan dengan
situasi zaman ini, yaitu kecenderungan melemahnya penghayatan hidup religius,
menguatnya sikap individualistis, dan situasi dunia yang semakin sekular.[31]
Yesus tidak pernah berubah,
tetap sama. Dia adalah kemarin, hari ini dan sampai selama-lamanya.[32]
Dia tidak larut oleh zaman, tidak hancur oleh waktu. Dia selalu baru dan up to date. Oleh karena itu, Dialah yang
menjadi andalan dan kekuatan kita. Dia harus menjadi satu-satunya jago kita. Konsili
Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral Gaudium
et Spes tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini mengungkapkan, “Dan di bawah langit tidak
diberikan kepada manusia nama lain, yang bagi mereka harus menjadi pokok
keselamatan. Begitu pula Gereja percaya, kunci, pusat dan tujuan seluruh
sejarah manusia terdapat pada Tuhan dan Gurunya. Selain itu, Gereja menyatakan,
bahwa di balik segala perubahan ada banyak hal yang tidak berubah, dan yang
mempunyai dasarnya yang terdalam pada diri Kristus, Dia yang tetap sama, baik
kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.”[33]
Melihat semuanya itu, kita
diundang untuk menjadikan Yesus satu-satunya pegangan dan patokan kehidupan
kita, yaitu kita ungkapkan dalam penghayatan hidup kita sebagai seorang
religius, secara khusus dalam Tarekat Wajah Kudus:
Dalam Doa: Melihat dengan mata Allah
Itulah sebabnya, kita diminta untuk
belajar beriman dalam perjalanan hidup ini. Kita dipanggil untuk mengandalkan
Tuhan dalam kehidupan ini. Dia adalah segalanya. Semuanya itu, kita ungkapan
dalam doa. Doa pertama-tama bukan kita yang mengubah rencana dan kehendak
Tuhan, melainkan sebaliknya dalam dan dengan doa kita malah diubah, untuk
melihat segala sesuatu dengan mata Tuhan. Kita mencari apa yang dikehendaki dan
apa yang menjadi rencana indah Tuhan bagi kita. Peraturan Hidup para Suster
menegaskan, “Kita menanamkan semangat doa dan doa itu sendiri (PC 6) demi
menerangi dan mengarahkan seluruh eksistensi kita agar terbuka terhadap
pengalaman akan Allah yang hidup.”[34]
Doa menjadi kesempatan untuk mengalami Allah yang mengubah kita.
Dalam Komunitas Persaudaraan: Mencintai dengan Hati Tuhan
Pertumbuhan iman kita juga
terjadi dalam komunitas. Dalam komunitas, kita belajar untuk mencintai orang
lain dan menerima sesama apa adanya, dengan semagat dan hati Tuhan sendiri. Dalam
Peraturan Hidup Kongregasi dikatakan, “Suatu iklim yang diresapi oleh Roh
Yesus, di mana meraja cinta persaudaraan (PC 12) yang mampu menghimpun di dalam
Kristus semua saudari yang dipanggil ke dalam keluarga biara kita, akan
membantu kita menghayati kemurnian hidup bakti dengan gembira dan tabah.”[35]
Dan juga, “Oleh karena itu kita membuka diri kepada kasih persaudaraan, bersama
dengan perasaan hati Kristus sendiri yang telah menghimpun kita dalam nama-Nya
dan yang dipercaya oleh Roh Kudus dengan pencurahan cintakasih (Rom 5:5). Cinta
yang demikian mempersatukan kita, sampai melampaui batas-batas pribadi,
perbedaan watak, umur, tugas, kebangsaan dan membuat perutusan kita dapat
dipercayai.”[36]
Dalam Pelayanan: bertindak atas nama Tuhan dan untuk Dia
Pelayanan pun membuat kita bisa
bertumbuh dalam iman akan Tuhan (Yesus). Kita melayani bukan karena mencari
diri sendiri, melainkan karena dan untuk Tuhan. Cintakasih harus menjadi daya
dorong dalam pelayanan seorang religius. St. Yohanes Paulus II, Paus mengatakan
dalam anjuran apostolik Vita Consecrata
demikian, “Bekerjalah, curahkanlah tenagamu, bahkan terimalah penderitaan dan
siksaan, supaya melalui kecerlangan dan keindahan amal baik engkau memiliki
dalam cintakasih apa yang dilambangkan dalam busana putih Tuhan. Kenyataannya
bahwa para anggota hidup bakti mengarahkan pandangan mereka kepada wajah Tuhan
tidak mengurangi komitmen mereka terhadap umat manusia.”[37]
Dan lagi, St. Yohanes Paulus II, Paus
ini melanjutkan, “Kerinduan akan keindahan ilahi mendorong para anggota hidup
bakti untuk merawat citra Allah yang sudah ternodai pada wajah sesama mereka,
wajah-wajah yang tercemar karena kelaparan, wajah-wajah yang dikecewakan oleh
janji-janji politik yang hampa, wajah-wajah yang direndahkan dengan menyaksikan
kebudayaan mereka dilecehkan, wajah-wajah yang ketakutan karena terus
berkecamuknya kekerasan yang membabi buta, wajah anak-anak di bawah umur yang
cemas, wajah-wajah kaum wanita yang
terluka dan direndahkan, wajah-wajah para buruh luar negeri yang letih lesu,
yang tidak disambut dengan hangat, wajah-wajah kaum lanjut usia yang sedikit
pun tidak berada dalam kondisi hidup yang bermartabat.”[38]
Sungguh semangat hidup Ibu Maria
Pia Mastena membuat hidup tarekat para Suster Wajah Kudus sungguh kena sasaran
sesuai dengan kebutuhan dunia zaman ini. St. Yohanes Paulus II, Paus kembali
mengatakan, “Maka hidup bakti menunjukkan melalui karya-karya yang sungguh kena
sasaran, bahwa cintakasih ilahi mendasari dan merangsang cintakasih yang
sukarela dan aktif.”[39]
Kharisma Suster-Suster Wajah Kudus secara indah menunjukkan semangat yang sama
ini. “’MENYEBARKAN, MENYILIH DAN MEMULIHKAN GAMBARAN YESUS YANG MANIS DI DALAM
JIWA-JIWA’ adalah kharisma dari Pendiri kita. Roh Kudus telah menyatakan
kepadanya kekayaan tak terbatas dari cinta penuh belaskasih Bapa di dalam Wajah
Kristus terhina, sembari menuntunnya untuk menemukan kekuatan inspiratif dari
Kongregasi di mana kita sendiri merasa terpanggil.”[40]
Sesuai dengan teladan Ibu Pendiri, pengalaman akan kasih Allah dalam
kontemplasi akan Wajah Yesus mestinya membuat kita merasakan betapa pentingnya
panggilan kita untuk memberi silih, kesempatan untuk ambil bagian dalam
penebusan.[41] Lalu
para Suster Wajah Kudus juga diundang sesuai dengan ajaran Ibu Pendiri untuk
menyebarluaskan kebaktian kepada Wajah Kudus, bahkan setiap komunitas Wajah
Kudus harus menjadi rumah penyilihan.[42]
Selanjutnya, para Suster Wajah Kudus juga dipanggil untuk memulihkan Wajah
Allah dalam diri manusia.[43]
Sehubungan dengan itu semua,
pilihan karya para Suster Wajah Kudus harus mampu mengembalikan wajah Allah
dalam diri manusia yang termiskin dan terlupakan. Dalam karya pelayanannya yang
sesuai dengan kharisma, para Suster Wajah Kudus teristimewa memberikan diri dan
waktu mereka untuk: orang-orang yang menderita, sakit dan lanjut usia, karya
pendidikan dan pastoral serta animasi misi.[44]
Dan lagi, “.... sesuai dengan teladan Madre Pendiri, kita membuka diri bagi
semua umat manusia untuk menyingkapkan kepada mereka Wajah Kristus sembari
membantu mereka mewujudkannya di dalam diri mereka di hadapan Bapa.”[45]
Dan lagi, kita diundang untuk melihat wajah Yesus sendiri dalam diri mereka
yang menderita. “Dengan penuh cintakasih kita mendekatkan diri kepada orang
sakit dan orang yang terlupakan, sembari melihat dalam wajah-Nya yang penuh
derita Rupa Dia yang telah menebus dunia melalui misteri kematian dan
kebangkitan.”[46]
CATATAN AKHIR
Demikianlah satu dua gagasan
pokok pikiran yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini. Semoga apa yang
saya sampaikan ini, tentu masih banyak kekurangannya, membantu para suster
sekalian untuk kembali menghayati semangat hidup bakti, mengembangkan hidup
rohani dan membuat hidup dan kesaksian Beata Maria Pia Mastena tetap dan terus
berbicara bagi kita sekalian. Kembali kepada pernyataan akhir sidang pleno para
pemimpin tarekat religius Indonesia, sungguh menarik kita perhatikan. Bersama
para pemimpin kita, kita pun berkata, “Kami akan berupaya untuk berani keluar
dari wilayah kemapanan, terbuka kepada kehendak Allah, dan mengupayakan
pembaharuan dan peningkatan karya-karya pelayanan yang menjawabi kebutuhan
jaman. Kesadaran baru ini mengajak kami untuk semakin mampu dan mau membangun
kerjasama dengan berbagai pihak yang terpanggil untuk merawat hidup dan
menyembuhkan manusia yang semakin jauh dari Allah dan mengarah kepada
kehancuran. Kami bertekad mengembangkan kegiatan-kegiatan bersama dalam
pembinaan orang muda, pendampingan kaum migran dan kaum miskin, perlindunan
kurban perdagangan wanita dan anak-anak, penyelamatan lingkungan hidup, dan
pembenahan lembaga-lembaga karya pelayanan kami.”[47]
Dari pengalaman Beata Maria Pia
Mastena nampak jelas bahwa ia adalah saksi handal penghayatan hidup religius
dan pembaharuan hidup rohani. Kita semua, khususnya para Suster Wajah Kudus
dipanggil juga untuk melakukan hal yang sama. Kita, para pelaku hidup bakti berada di garis paling depan untuk membaktikan
diri sepenuhnya kepada Tuhan dalam pelayanan kepada sesama dan juga adalah ujung
tombak pembaharuan hidup rohani. Beata Maria Pia Mastena, doakanlah kami. Amin.
Bukit Karmel Weruoret, Nita, 1 Oktober 2015
Pesta St. Teresia dari Lisieux, Pelindung
Misi dan Pujangga Gereja
Stef. Buyung
Florianus, O.Carm.
[1] EN 41.
[2] RM 42.
[3] Peraturan Hidup no. 1.
[4] Peraturan Hidup no. 11.
[5] PC 1.
[6] PC 5.
[7] VC 1.
[8] PC 5.
[9] VC 71.
[10] Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam
Jiwa-Jiwa, hal. 12.
[11] 1Tes 5:23
[12] Mrk 6:31.
[13] Pernyataan Akhir Sidang Pleno Pemimpin Tarekat Religius Indonesia,
Hotel Oval, Surabaya, 12-18 Oktober 2011.
[14] Dom Roberto Laurita, Beata Maria
Pia Mastena. (Suster-Suster Wajah Kudus), hal. 6.
[15] Dom Roberto Laurita, hal. 7-8.
[16] Dom Roberto Laurita, hal. 10-11.
[17] Dom Roberto Laurita, hal. 14.
[18] Dom Roberto Laurita, hal. 26-27.
[19] Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam
Jiwa-Jiwa, hal. 31-32.
[20] Surat 15.11.1935. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang
Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 42.
[21] Surat 12.09.1933. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang
Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 46.
[22] Catatan Harian. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang
Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 48-49.
[23] Catatan Harian. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang
Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 32.
[24] Catatan Harian. Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam
Jiwa-Jiwa, hal. 32.
[25] Catatan Harian. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang
Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 49.
[26] Gal 2:20.
[27] Surat kepada orang-orang kota Milan 11.03.1926. Menyebarkan, Menyilih,
Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 38.
[28] Surat kepada para Suster 28.07.1941. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan
Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 42-43.
[29] Surat 21.08.1948. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang
Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 37.
[30] Surat 03.04.1939. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang
Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 36-37.
[31] Pernyataan Akhir Sidang Pleno Pemimpin Tarekat Religius Indonesia,
Hotel Oval, Surabaya, 12-18 Oktober 2011.
[32] Ibr 13:8.
[33] GS 10.
[34] Peraturan Hidup no. 38.
[35] Peraturan Hidup no. 22.
[36] Peraturan Hidup no. 57.
[37] VC 74.
[38] VC 74.
[39] VC 74.
[40] Peraturan Hidup no. 2.
[41] Peraturan Hidup no. 5.
[42] Peraturan Hidup no. 7.
[43] Peraturan Hidup no. 8.
[44] Peraturan Hidup no. 9.
[45] Peraturan Hidup no. 20.
[46] Peraturan Hidup no. 33.
[47] Pernyataan Akhir Sidang Pleno Pemimpin Tarekat Religius Indonesia,
Hotel Oval, Surabaya, 12-18 Oktober 2011.