Cerca nel blog

sabato 24 ottobre 2015

BEATA MARIA PIA MASTENA:




SAKSI HANDAL HIDUP BAKTI DAN PEMBAHARUAN HIDUP ROHANI
(Sebuah Pesan bagi Hidup dan Pelayanan Para Suster Wajah Kudus – Mengenang 25 tahun Kehadiran Para Suster Wajah Kudus di Indonesia)

Oleh: Stef. Buyung Florianus, O.Carm

CATATAN AWAL
                Tahun 2015 ini merupakan tahun yang istimewa bagi kita para Religius. Paus Fransiskus telah menetapkannya sebagai tahun hidup bakti. Itulah sebabnya, tahun 2015 ini menjadi kesempatan emas bagi kita untuk menengok kembali kehidupan kita, melihat jati diri kita sebagai orang-orang yang dipanggil untuk menghayati hidup kebiaraan, sehingga kita bisa sungguh-sungguh menjadi saksi handal di tengah dunia ini. Para “Suster Wajah Kudus” tentu dengan caranya telah dan sedang mengisi tahun yang indah ini. Paus Paulus VI dalam Himbauan Apstoliknya Evangelii Nuntiandi tentang Karya Pewartaan Injil dalam Zaman Modern (8 Desember 1975) mengatakan, “Manusia modern lebih senang mendengarkan kesaksian daripada para pengajar. Dan bila mereka mendengarkan para pengajar, hal itu disebabkan karena para pengajar tadi merupakan saksi-saksi.”[1] Lalu St. Yohanes Paulus II, Paus menegaskan kembali dalam ensikliknya Redemptoris Missio tentang Amanat Misioner Gereja, “Manusia dewasa ini lebih percaya lebih percaya pada pemberi-pemberi kesaksian daripada pengajar-pengajar; lebih percaya pada pengalaman daripada ajaran; dan lebih percaya pada kehidupan dan tindakan daripada teori-teori.”[2]
                Kita sepakat bahwa Beata Maria Pia Mastena adalah pertama-tama seorang pemberi kesaksian dan teladan hidup. Ia mengajar dengan hidup dan membagikan teori melalui pengalaman hidupnya. Ia mensharingkan apa yang ia buat dan hayati. Untuk mempermudah kita melihat kesaksian dan teladan hidup Beata ini, ada empat bagian yang pantas kita geluti: 1) tentang Hidup Bakti Selayang Pandang; 2) Sekilas Hidup Rohani; 3) Maria Pia Mastena: Saksi Handal Hidup Bakti dan Hidup Rohani; dan 4) Pesan Bagi Para Suster Wajah Kudus Zaman Ini.

HIDUP BAKTI SELAYANG PANDANG
Hidup membiara atau hidup religius (Vita Consecrata) adalah sebuah kehidupan yang dikuduskan Allah dan untuk dibaktikan kepada-Nya atau dipersembahkan hanya untuk Allah di dalam Gereja-Nya demi keselamatan umat Allah. Sungguh sangat menarik untuk kita simak adalah kata religius itu sendiri: re – ligare (yang berarti mengikat kembali. Kita diikat kembali dengan Allah. Ikatan kita yang pertama terjadi pada saat kita dibaptis. Atau kata lain yang bisa juga menolong: re – legare (yang berarti mengutus kembali. Kita diutus oleh Allah untuk melayani umat-Nya). Semuanya ini terangkum dengan sangat indah dalam Peraturan Hidup Kongregasi Suster-Suster Wajah Kudus, “Kita membaktikan diri kepada Allah dengan pengikraran kaul-kaul kemurnian, kemiskinan dan ketaatan di dalam suatu komunitas persaudaraan yang diabdikan untuk kerasulan. Kita seutuhnya siap untuk perutusan yang menyelamatkan dari Yesus Kristus yang telah mati dan bangkit.”[3] Dan lagi, “Yesus Kristus yang diurapi oleh Roh Kudus untuk menginjili kaum miskin, telah dikuduskan dan diutus untuk menyatakan cinta Bapa kepada kita (Luk 4:18-19; Yoh 10:36). Kita yang ditarik oleh kekuatan Roh-Nya melalui suatu panggilan pribadi yang cuma-cuma, disucikan bagi-Nya melalui pengikraran publik nasihat-nasihat Injili, sembari menyatukan kurban hidup kita pada karya penyelamatan-Nya (LG 44) demi suatu misi penebusan di dunia.”[4]
Itulah sebabnya, seorang religius semestinya pertama-tama berarti seorang yang melihat Allah semata-mata. Dan ini tidak lain adalah dimensi kontemplatif (contemplare: melihat atau memandang) dari seorang religius. Ia mau melihat segala sesuatu dengan mata Allah. Konsili Vatikan II dalam Perfectae Caritatis tentang Pembaharuan dan Penyesuaian Hidup Religius mengatakan, “Dengan cara mereka masing-masing mereka menghayati hidup yang dibaktikan kepada Allah.”[5] “Maka dari itu para anggota setiap tarekat hendaklah mencari Allah satu-satunya dan di atas segalanya.”[6] St. Yohanes Paulus II, Paus dalam Anjuran Apostoliknya Vita Consecrata tentang Hidup Bakti bagi para Religius menegaskan, “Di setiap masa ada orang-orang pria maupun wanita yang mematuhi panggilan Bapa dan dorongan Roh Kudus, dan memilih cara khusus itu dalam mengikuti Kristus, guna membaktikan diri kepada-Nya dengan hati yang ‘tidak terbagi’ (bdk. 1Kor 7:34).”[7]
Selain itu, seorang religius adalah seorang yang di dalam hidup dan karyanya menghayati Allah semata-mata. Maksudnya, ia mau melaksanakan segala sesuatu dan bekerja segiat-giatnya bagi Tuhan dan dalam Allah. Inilah dimensi apostolik dalam hidup religius. Sungguh sangat indah, apa yang dikatakan oleh para Bapa Konsili Vatikan II dalam Perfectae Caritatis, “Mereka wajib memadukan kontemplasi, yang membuat mereka berpaut pada-Nya dengan budi dan hati, dengan cinta kasih kerasulan, yang menjiwai usaha mereka menggabukan diri pada karya Penebusan dan menyebarluaskan Kerajaan Allah.”[8] Dan lagi St. Yohanes Paulus II menggarisbawahi, “Dimensi apostolis membuka hati dan budi para anggota hidup bakti, dan menyiapkan mereka untuk dengan tabah berusaha dalam kerasulan, sebagai tanda bahwa cintakasih Kristulah yang mendorong mereka (bdk. 2Kor 5:14).”[9] Dengan demikian, seluruh kehidupan, apa yang dikatakan dan dibuat oleh seorang religius lahir dari relasi yang mendalam dengan Tuhan. “Karya kerasulan yang dilaksanakan dalam doa menjadikan kita orang yang kerja sama dengan Allah, orang yang meneruskan karya keseamatan-Nya di dunia.”[10]




SEKILAS TENTANG HIDUP ROHANI
                Rasul Paulus dalam surat pertamanya kepada umat di Tesalonika menulis, “Moga-moga roh, jiwa dan ragamu seluruhnya terpelihara tanpa cela pada kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus.”[11] Kata-kata sang Rasul ini mengingatkan kita bahwa kita adalah makhluk yang memiliki tiga dimensi: roh, jiwa dan raga. Namun sayang, dalam kehidupan kita, kita tidak secara seimbang memperhatikan dimensi-dimensi tersebut. Seringkali orang hanya memerhatikan jiwa dan raganya. Orang makan dan tidur serta belajar. Roh sering terlupakan. Mengapa demikian? Orang sulit mencari saat-saat tertentu untuk hening sebentar dan mengambil waktu untuk berdoa. Orang lebih suka mencari istirahat dan mempunyai waktu ke tempat-tempat hiburan atau rekreasi daripada memberikan waktu untuk beristirahat dalam Tuhan. Padahal saat doa, saat beristirahat adalah waktu yang tepat bagi kita untuk membuka roh kita terhadap Roh Allah. Yesus sendiri menawarkan kepada para murid-Nya untuk beristirahat bersama Dia di tempat yang sunyi. “Marilah ke tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah seketika!”[12] Tempat sunyi adalah saat suci bersama Tuhan, saat indah karena kita tidak sendirian, melainkan bersama Dia yang kita tahu mencintai kita.                Pernyataan akhir pada sidang pleno Konferensi Pemimpin Tarekat Religius Indonesia menegaskan kembali para pelaku hidup bakti secara khusus sebagai makluk rohani. “.... kami disadarkan kembali akan hakekat kami sebagai mistikus dan nabi. Mistikus dan nabi merupakan dua sisi dari hakekat kami yang tidak terpisahkan. Karena itu kami dipanggil untuk semakin memupuk relasi yang akrab dengan Allah, supaya bisa membaca tanda-tanda jaman, dan mengenali kebutuhan dan harapan manusia dewasa ini, yang semakin jauh dari panggilannya sebagai makhluk rohani.”[13] Secara sederhana, sebagai makhluk rohani berarti manusia sungguh memerhatikan hidup rohaninya. Itu berarti juga ia mau hidup dalam roh. Kita membiarkan diri kita dikuasai oleh Allah, dibimbing oleh Roh-Nya yang kudus.

MARIA PIA MASTENA: SAKSI HANDAL HIDUP BAKTI DAN HIDUP ROHANI
                Beata Maria Pia Mastena pada zamannya telah menjadi saksi handal bagaimana menghayati hidup bakti dan mengembangkan hidup rohani.
Dalam Kisah Hidupnya
                Sejarah hidup Beata Maria Pia Mastena tidak lain adalah sejarah kasih Tuhan dalam kehidupannya. Betapa Tuhan mencintai-Nya, dan bagaimana Beata Maria Pia ini menanggapi cinta Tuhan dan menjawabi kasih Allah dalam seluruh hidupnya. Ternyata sejak kecil dalam keluarga, Maria Pia Mastena telah terlatih untuk hidup dalam kesalehan dan penyerahan diri kepada Tuhan. Dia dilahirkan dari pasangan Giulio Mastena dan Maria Antonia Casarotti di Bovolone (Italia) pada 7 Desember 1881 dan dididik dalam keluarga yang baik lagi saleh. Kedua orangtua tersebut adalah orang beriman yang sungguh bersemangat. Di dalam kamar tidurnya, Teresa (nama aslinya) telah meletakkan sebuah gambar Wajah Kudus, yang tercorak oleh derita dan siksaan. Di hadapan gambar itulah, sejak kecil ia biasa mendaraskan doa-doanya, sehingga ciri-ciri khas-Nya itu tetap tergambar dalam hatinya, seumur hidupnya.[14]
                Teresa seorang anak yang rajin berdoa dan tekun mengikuti kegiatan-kegiatan paroki. Ia membawa teman-temannya ke gereja untuk berdoa di depan tabernakel, dan mengajar mereka bagaimana harus mengambil bagian dalam perayaan ekaristi, bagaimana mereka harus menghormato Hati Kudus Yesus dan Santa Perawan Maria. Dia juga diperkenankan menerima Komuni pertama dalam usia yang masih sangat muda, 10 tahun, 19 Maret 1891 (sebelum keputusan Paus Pius X, anak boleh menerima komuni pada usia 12 tahun). Pada tahun yang sama ini ia mengalami sebuah penglihatan, Wajah Kudus Yesus tengah sebuah salib.[15]
                Pada 7 September 1901, saat berusia 20 tahun, ia masuk biara Suster-Suster Belaskasih. Lalu pada 11 April 1903, atas restu pemimpin, ia mengucapkan kaul istimewa, kaul pribadi sebagai korban, yakni dalam kesatuan dengan Yesus Tersalib ia rela menerima seluruh penderitaan yang akan dijumpainya dan juga kematian. Pada 24 , ia mengucapkan kaul kebiaraan untuk hidup selama-lamanya dalam kemiskinan, ketaatan dan kemurnian, dengan mengambil nama biara Suster Passitea Maria dari Kanak-Kanak Yesus. Dia sungguh-sungguh menghayati hidup panggilannya, dan minta dukungan dan doa dari orangtua. Baginya lebih baik mati daripada menjadi seorang religius yang tidak pantas.[16]
                Pada suatu saat ia merasakan bahwa ia ingin memberikan dirinya seutuhnya kepada Tuhan dalam sebuah pertapaan. Tetapi di sisi lain, dalam hati kecilnya ada juga sebuah kerinduan untuk mendirikan sebuah komunitas religius yang baru, yang dibaktikan kepada kontemplasi Wajah Kudus Yesus. Mgr. Andrea Caron, sebagai Uskup Keuskupan Vittorio Veneto mendorongnya, dengan berkata, “Mari mulailah... kamu sendiri dapat mendirikan satu Kongregasi baru yang mengambil inspirasi dari Wajah Kudus Yesus.”[17] Selanjutnya, Ibu Pendiri ini mengalami banyak kesulitan, suka duka, penderitaan dan penghinaan untuk memulai tarekat ini, bahkan nyaris dibubarkan. Pada 30 Oktober 1936, Kongregasi Suci untuk Kaum Religius mengabulkan permohonan pendirian tarekat, dan akhirnya 8 Desember 1936, keluarga religius Wajah Kudus didirikan secara kanonik pada tingkat diosesan dan para susternya menerima Peraturan Hidup. Ibu Pendiri Beata Maria Pia Mastena tetap pada pendiriannya, “Kita adalah Suster Wajah Kudus, yakni Wajah Yesus yang dihina, dianiaya, ditusuk duri, diludahi, ditampar.”[18]

Dalam Kata-Kata dan Nasihatnya
Lewat kata-kata dan nasihatnya, Beata Maria Pia mengungkapkan beberapa hal yang menunjukkan bagaimana seharusnya kita menghayati panggilan hidup bakti dan menumbuhkan hidup rohani kita. Itu semua ia ungkapkan dari apa yang dia perjuangkan dan dia hayati. Ada beberapa aspek yang patut kita perhatikan:
1)      Seutuhnya Bagi Yesus Tersalib
Beata Maria Pia Mastena mau hidup semata-mata bagi Tuhan, bagi Yesus. Ibu Pendiri para Suster dari Wajah Kudus ini pernah berkata, “Saya ini seorang religius, yang membaktikan diri secara khusus sebagai kurban kepada Yesus tersalib.”[19] “Kuatkanlah hatimu, Ibumu pula sungguh berada di atas kayu salib: dari setiap sudut, dengan seribu cara, dengan bentuk yang paling menyiksakan, iblis membangkitkan alat-alat penganiyaan. Kita adalah suster-suster Wajah Kudus, yakni wajah Yesus yang dicorek, disiksa, ditusuk oleh duri-duri, diludahi, ditampar. Apakah kita tidak mau jadi gambar-Nya yang sempurna.”[20] Dalam surat permohonannya kepada Kongregasi para Religius untuk memperoleh pengakuan kanonik, ia menulis, “Para Suster membaktikan diri kepada Allah dan mengurbankan diri kepada-Nya sebagai KURBAN, agar terutama disilih dan dipulihkan gambaran ilahi dari Yesus yang manis.... Setiap komunitas akan dijadikan pusat penyilihan....”[21] Dalam catatan hariannya, ia berkata, “... saya ingin mempersembahkan pada setiap detik, sebanyaknya saat yang ada dalam keabadian, hatiku, tubuhku, rohku, kehendakku, dengan menyerahkan semuanya itu di antara api yang sunguh menyala-nyala dari sang Hati ilahi, agar segala-galanya dikurbankan demi kemulian-Nya dan keselamatan seluruh dunia, dengan menyatukan kurban ini dengan sang Kurban Kalvari agar setiap hari saya menyerahkan diri kepada Bapa ilahi.”[22]
                Beata Maria Pia Mastena juga dalam hidupnya mau melaksanakan segala-galanya dalam dan untuk Tuhan, untuk Yesus kekasih jiwanya. Ia pernah menulis, “Ya, kurban, maka, wahai jiwaku, engkau akan mempersembahkan kepada Hati Yesus yang Mahakudus melalui tangan Ibu surgawiku, apa saja yang engkau laksanakan, apa saja yang engkau pikirkan, nikmati dan derita, seluruh hidupmu... demi pertobatan orang-orang berdosa, agar orang kafir diterangi, demi perdamaian di seluruh dunia, demi keperluan umum dan khusus dalam Gereja.”[23] Ia melanjutkan, “Apa saja yang akan saya laksanakan dengan tanganku, saya ingin agar hal itu menjadi suatu karya yang tetap di seputar Hati Yesus yang amat manis, agar dengan tangan yang satu dihalangi oleh dosa-dosa manusia, sehingga Ia tidak terlukai, dan dengan tangan yang lain membentuk suatu karangan bunga sebagai tanda hormat, adorasi dan kasih untuk menggantikan duri-duri yang ingin saya cabut daripada-Nya.”[24] Dan lagi ia mengatakan, “Ya Yesus, betapa Engkau menderita oleh karena jiwa-jiwa yang dibaktikan kepada-Mu! Kekurangan dalam semangat! Kekurangan dalam kasih! Dan aku ini? Bagaimana dengan aku ini? Saya ingin menghancurkan diri pada setiap saat: menghancurkan diri di hadapan-Mu oleh karena kasih, kasih yang menyilih, kasih tambahan, kasih yang melebihi segala kasih yang lain.”[25]
2)      Melayani Seperti Yesus
                Beata Maria Pia Mastena hidup dalam Allah, dan Allah hidup dalam dirinya. Sehingga bersama Paulus, ia pun boleh berkata, “Aku hidup tapi bukan lagi sendiri yang hidup, melainkan Kristuslah yang hidup di dalam aku.”[26] Ia tidak ragu-ragu untuk mengenakan pada dirinya apa yang menjadi hidup Yesus. Ia pernah mengatakan, “Yesus telah memberi kepadaku kasih bagi semua; kasih yang berbela rasa... maka aku juga membuka tanganku dan berkata bersama dengan pengantin ilahiku, ‘Datanglah kepadaku, kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat, kamu semua yang lapar... kamu semua yang saya kasihi dan yang berkenan kepada hatiku!’ Ketika kamu tidak akan menderita lagi... maka ibumu tidak berguna lagi bagimu. Ia telah menaruh dalam diriku satu kesukaan yang suci bagimu.”[27]
                Beata Maria Pia Mastena mau melayani seperti Yesus. Itulah sebabnya, ia tidak takut bila menghadapi banyak kesulitan dalam hidup dan pelayanannya. Dalam salah satu suratnya kepada para susternya, ia menulis, “Marilah kita bekerja, bekerja untuk menyelamatkan jiwa-jiwa bagi Tuhan. Apakah kita dihalangi? Hiduplah Yesus. Apakah kita difitnah? Hiduplah Yesus. Apakah kita dibalas dengan sikap yang kurang berterimakasih? Hiduplah Yesus, senantiasa hiduplah Yesus.”[28]
3)      Menyenangkan Yesus dan Menghibur Dia
Beata Maria Pia mempunyai semangat untuk menyenangkan dan menghibur Yesus. Dalam salah satu suratnya kepada putri-putrinya, ia menulis, “Saya berharap bahwa kamu semua bukan hanya mawas diri dan sangat berkelakuan baik, melainkan dengan bantuan Yesus pengantimu yang manis, kamu akan sungguh baik, sehingga kamu akan menarik pandangan-pandangan ilahi-Nya oleh karena kamu berkenan kepada-Nya. Betapa besar kebahagiaan yang ada dalam diri kita oleh karena kesadaran bahwa kitalah penghibur kasih hati-Nya yang ilahi, oleh karena kesadaran bahwa kita berkenan kepada-Nya.”[29] Dalam suratnya yang lain, ia menulis, “Janganlah menyedihkan wajah ilahi yang manis itu yang terus menerus memandang kita dengan pandangan-pandangan-Nya yang bersinar penuh kelembutan yang tak terucapkan, sembari memohon pelipuran, penyilihan dan tindakan-tindakan yang paling halus dari kasih kita. Wajah Kudus telah dipercayakan kepada kita dan kita ingin menjadikan-Nya selalu puas dan senang secara ilahi, senantiasa tersenyum.”[30]

PESAN BAGI PARA SUSTER WAJAH KUDUS ZAMAN INI
                Beata Maria Pia Mastena bukan hanya menjadi saksi handal pada zamannya, tetapi juga pada zaman kita ini. Hidup dan kata-katanya telah dan terus menjadi pesan bagi orang-orang zaman ini, khususnya bagi para Suster Wajah Kudus.

Dunia berubah – Yesus tidak pernah berubah
                Kita berada dalam sebuah dunia yang begitu cepat berubah. Dunia ini sudah dan terus berubah. Ada dua ekstrim yang seringkali terjadi dalam hidup ini. Di satu pihak, banyak orang terseret oleh arus perubahan zaman, dan lalu hancur berantakan hidupnya. Namun di pihak lain, tidak sedikit orang yang tidak mengikuti zaman, menjadi kolot dan mati dalam tempurung kehidupan mereka. Itulah sebabnya, kita diundang untuk bijaksana dalam menyesuaikan diri dengan arus perubahan zaman ini, jangan sampai kita larut oleh zaman, dan jangan sampai kita ketinggalan kereta dalam perjalanan hidup ini. Pernyataan akhir pada sidang Pleno Konferensi Pemimpin Tarekat Religius Indonesia patut kita perhatikan, khususnya berkaitan dengan situasi zaman ini, yaitu kecenderungan melemahnya penghayatan hidup religius, menguatnya sikap individualistis, dan situasi dunia yang semakin sekular.[31]
                Yesus tidak pernah berubah, tetap sama. Dia adalah kemarin, hari ini dan sampai selama-lamanya.[32] Dia tidak larut oleh zaman, tidak hancur oleh waktu. Dia selalu baru dan up to date. Oleh karena itu, Dialah yang menjadi andalan dan kekuatan kita. Dia harus menjadi satu-satunya jago kita. Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral Gaudium et Spes tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini  mengungkapkan, “Dan di bawah langit tidak diberikan kepada manusia nama lain, yang bagi mereka harus menjadi pokok keselamatan. Begitu pula Gereja percaya, kunci, pusat dan tujuan seluruh sejarah manusia terdapat pada Tuhan dan Gurunya. Selain itu, Gereja menyatakan, bahwa di balik segala perubahan ada banyak hal yang tidak berubah, dan yang mempunyai dasarnya yang terdalam pada diri Kristus, Dia yang tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya.”[33]
                Melihat semuanya itu, kita diundang untuk menjadikan Yesus satu-satunya pegangan dan patokan kehidupan kita, yaitu kita ungkapkan dalam penghayatan hidup kita sebagai seorang religius, secara khusus dalam Tarekat Wajah Kudus:

Dalam Doa: Melihat dengan mata Allah
                Itulah sebabnya, kita diminta untuk belajar beriman dalam perjalanan hidup ini. Kita dipanggil untuk mengandalkan Tuhan dalam kehidupan ini. Dia adalah segalanya. Semuanya itu, kita ungkapan dalam doa. Doa pertama-tama bukan kita yang mengubah rencana dan kehendak Tuhan, melainkan sebaliknya dalam dan dengan doa kita malah diubah, untuk melihat segala sesuatu dengan mata Tuhan. Kita mencari apa yang dikehendaki dan apa yang menjadi rencana indah Tuhan bagi kita. Peraturan Hidup para Suster menegaskan, “Kita menanamkan semangat doa dan doa itu sendiri (PC 6) demi menerangi dan mengarahkan seluruh eksistensi kita agar terbuka terhadap pengalaman akan Allah yang hidup.”[34] Doa menjadi kesempatan untuk mengalami Allah yang mengubah kita.

Dalam Komunitas Persaudaraan: Mencintai dengan Hati Tuhan
                Pertumbuhan iman kita juga terjadi dalam komunitas. Dalam komunitas, kita belajar untuk mencintai orang lain dan menerima sesama apa adanya, dengan semagat dan hati Tuhan sendiri. Dalam Peraturan Hidup Kongregasi dikatakan, “Suatu iklim yang diresapi oleh Roh Yesus, di mana meraja cinta persaudaraan (PC 12) yang mampu menghimpun di dalam Kristus semua saudari yang dipanggil ke dalam keluarga biara kita, akan membantu kita menghayati kemurnian hidup bakti dengan gembira dan tabah.”[35] Dan juga, “Oleh karena itu kita membuka diri kepada kasih persaudaraan, bersama dengan perasaan hati Kristus sendiri yang telah menghimpun kita dalam nama-Nya dan yang dipercaya oleh Roh Kudus dengan pencurahan cintakasih (Rom 5:5). Cinta yang demikian mempersatukan kita, sampai melampaui batas-batas pribadi, perbedaan watak, umur, tugas, kebangsaan dan membuat perutusan kita dapat dipercayai.”[36]

Dalam Pelayanan: bertindak atas nama Tuhan dan untuk Dia
                Pelayanan pun membuat kita bisa bertumbuh dalam iman akan Tuhan (Yesus). Kita melayani bukan karena mencari diri sendiri, melainkan karena dan untuk Tuhan. Cintakasih harus menjadi daya dorong dalam pelayanan seorang religius. St. Yohanes Paulus II, Paus mengatakan dalam anjuran apostolik Vita Consecrata demikian, “Bekerjalah, curahkanlah tenagamu, bahkan terimalah penderitaan dan siksaan, supaya melalui kecerlangan dan keindahan amal baik engkau memiliki dalam cintakasih apa yang dilambangkan dalam busana putih Tuhan. Kenyataannya bahwa para anggota hidup bakti mengarahkan pandangan mereka kepada wajah Tuhan tidak mengurangi komitmen mereka terhadap umat manusia.”[37] Dan lagi,  St. Yohanes Paulus II, Paus ini melanjutkan, “Kerinduan akan keindahan ilahi mendorong para anggota hidup bakti untuk merawat citra Allah yang sudah ternodai pada wajah sesama mereka, wajah-wajah yang tercemar karena kelaparan, wajah-wajah yang dikecewakan oleh janji-janji politik yang hampa, wajah-wajah yang direndahkan dengan menyaksikan kebudayaan mereka dilecehkan, wajah-wajah yang ketakutan karena terus berkecamuknya kekerasan yang membabi buta, wajah anak-anak di bawah umur yang cemas, wajah-wajah kaum wanita  yang terluka dan direndahkan, wajah-wajah para buruh luar negeri yang letih lesu, yang tidak disambut dengan hangat, wajah-wajah kaum lanjut usia yang sedikit pun tidak berada dalam kondisi hidup yang bermartabat.”[38]
                Sungguh semangat hidup Ibu Maria Pia Mastena membuat hidup tarekat para Suster Wajah Kudus sungguh kena sasaran sesuai dengan kebutuhan dunia zaman ini. St. Yohanes Paulus II, Paus kembali mengatakan, “Maka hidup bakti menunjukkan melalui karya-karya yang sungguh kena sasaran, bahwa cintakasih ilahi mendasari dan merangsang cintakasih yang sukarela dan aktif.”[39] Kharisma Suster-Suster Wajah Kudus secara indah menunjukkan semangat yang sama ini. “’MENYEBARKAN, MENYILIH DAN MEMULIHKAN GAMBARAN YESUS YANG MANIS DI DALAM JIWA-JIWA’ adalah kharisma dari Pendiri kita. Roh Kudus telah menyatakan kepadanya kekayaan tak terbatas dari cinta penuh belaskasih Bapa di dalam Wajah Kristus terhina, sembari menuntunnya untuk menemukan kekuatan inspiratif dari Kongregasi di mana kita sendiri merasa terpanggil.”[40] Sesuai dengan teladan Ibu Pendiri, pengalaman akan kasih Allah dalam kontemplasi akan Wajah Yesus mestinya membuat kita merasakan betapa pentingnya panggilan kita untuk memberi silih, kesempatan untuk ambil bagian dalam penebusan.[41] Lalu para Suster Wajah Kudus juga diundang sesuai dengan ajaran Ibu Pendiri untuk menyebarluaskan kebaktian kepada Wajah Kudus, bahkan setiap komunitas Wajah Kudus harus menjadi rumah penyilihan.[42] Selanjutnya, para Suster Wajah Kudus juga dipanggil untuk memulihkan Wajah Allah dalam diri manusia.[43]
                Sehubungan dengan itu semua, pilihan karya para Suster Wajah Kudus harus mampu mengembalikan wajah Allah dalam diri manusia yang termiskin dan terlupakan. Dalam karya pelayanannya yang sesuai dengan kharisma, para Suster Wajah Kudus teristimewa memberikan diri dan waktu mereka untuk: orang-orang yang menderita, sakit dan lanjut usia, karya pendidikan dan pastoral serta animasi misi.[44] Dan lagi, “.... sesuai dengan teladan Madre Pendiri, kita membuka diri bagi semua umat manusia untuk menyingkapkan kepada mereka Wajah Kristus sembari membantu mereka mewujudkannya di dalam diri mereka di hadapan Bapa.”[45] Dan lagi, kita diundang untuk melihat wajah Yesus sendiri dalam diri mereka yang menderita. “Dengan penuh cintakasih kita mendekatkan diri kepada orang sakit dan orang yang terlupakan, sembari melihat dalam wajah-Nya yang penuh derita Rupa Dia yang telah menebus dunia melalui misteri kematian dan kebangkitan.”[46]

CATATAN AKHIR
                Demikianlah satu dua gagasan pokok pikiran yang bisa saya sampaikan pada kesempatan ini. Semoga apa yang saya sampaikan ini, tentu masih banyak kekurangannya, membantu para suster sekalian untuk kembali menghayati semangat hidup bakti, mengembangkan hidup rohani dan membuat hidup dan kesaksian Beata Maria Pia Mastena tetap dan terus berbicara bagi kita sekalian. Kembali kepada pernyataan akhir sidang pleno para pemimpin tarekat religius Indonesia, sungguh menarik kita perhatikan. Bersama para pemimpin kita, kita pun berkata, “Kami akan berupaya untuk berani keluar dari wilayah kemapanan, terbuka kepada kehendak Allah, dan mengupayakan pembaharuan dan peningkatan karya-karya pelayanan yang menjawabi kebutuhan jaman. Kesadaran baru ini mengajak kami untuk semakin mampu dan mau membangun kerjasama dengan berbagai pihak yang terpanggil untuk merawat hidup dan menyembuhkan manusia yang semakin jauh dari Allah dan mengarah kepada kehancuran. Kami bertekad mengembangkan kegiatan-kegiatan bersama dalam pembinaan orang muda, pendampingan kaum migran dan kaum miskin, perlindunan kurban perdagangan wanita dan anak-anak, penyelamatan lingkungan hidup, dan pembenahan lembaga-lembaga karya pelayanan kami.”[47]
                Dari pengalaman Beata Maria Pia Mastena nampak jelas bahwa ia adalah saksi handal penghayatan hidup religius dan pembaharuan hidup rohani. Kita semua, khususnya para Suster Wajah Kudus dipanggil juga untuk melakukan hal yang sama. Kita, para pelaku hidup bakti  berada di garis paling depan untuk membaktikan diri sepenuhnya kepada Tuhan dalam pelayanan kepada sesama dan juga adalah ujung tombak pembaharuan hidup rohani. Beata Maria Pia Mastena, doakanlah kami. Amin.

Bukit Karmel Weruoret, Nita, 1 Oktober 2015
Pesta St. Teresia dari Lisieux, Pelindung Misi dan Pujangga Gereja


Stef. Buyung Florianus, O.Carm.




[1] EN 41.
[2] RM 42.
[3] Peraturan Hidup no. 1.
[4] Peraturan Hidup no. 11.
[5] PC 1.
[6] PC 5.
[7] VC 1.
[8] PC 5.
[9] VC 71.
[10] Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 12.
[11] 1Tes 5:23
[12] Mrk 6:31.
[13] Pernyataan Akhir Sidang Pleno Pemimpin Tarekat Religius Indonesia, Hotel Oval, Surabaya, 12-18 Oktober 2011.
[14] Dom Roberto Laurita, Beata Maria Pia Mastena. (Suster-Suster Wajah Kudus), hal. 6.
[15] Dom Roberto Laurita, hal. 7-8.
[16] Dom Roberto Laurita, hal. 10-11.
[17] Dom Roberto Laurita, hal. 14.
[18] Dom Roberto Laurita, hal. 26-27.
[19] Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 31-32.
[20] Surat 15.11.1935. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 42.
[21] Surat 12.09.1933. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 46.
[22] Catatan Harian. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 48-49.
[23] Catatan Harian. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 32.
[24] Catatan Harian. Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 32.
[25] Catatan Harian. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 49.
[26] Gal 2:20.
[27] Surat kepada orang-orang kota Milan 11.03.1926. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 38.
[28] Surat kepada para Suster 28.07.1941. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 42-43.
[29] Surat 21.08.1948. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 37.
[30] Surat 03.04.1939. Menyebarkan, Menyilih, Memulihkan Wajah Yesus yang Manis Dalam Jiwa-Jiwa, hal. 36-37.
[31] Pernyataan Akhir Sidang Pleno Pemimpin Tarekat Religius Indonesia, Hotel Oval, Surabaya, 12-18 Oktober 2011.
[32] Ibr 13:8.
[33] GS 10.
[34] Peraturan Hidup no. 38.
[35] Peraturan Hidup no. 22.
[36] Peraturan Hidup no. 57.
[37] VC 74.
[38] VC 74.
[39] VC 74.
[40] Peraturan Hidup no. 2.
[41] Peraturan Hidup no. 5.
[42] Peraturan Hidup no. 7.
[43] Peraturan Hidup no. 8.
[44] Peraturan Hidup no. 9.
[45] Peraturan Hidup no. 20.
[46] Peraturan Hidup no. 33.
[47] Pernyataan Akhir Sidang Pleno Pemimpin Tarekat Religius Indonesia, Hotel Oval, Surabaya, 12-18 Oktober 2011.