BULLA
TAHUN YUBILEUM AGUNG KERAHIMAN "MISERICORDIAE VULTUS" (11 April 2015)
MISERICORDIAE VULTUS (WAJAH KERAHIMAN)
FRANSISKUS, USKUP ROMA, HAMBA DARI
PARA HAMBA ALLAH KEPADA SEMUA ORANG YANG MEMBACA SURAT INI
RAHMAT, KERAHIMAN, DAN KEDAMAIAN
1. Yesus Kristus adalah wajah
kerahiman Bapa. Kata-kata ini mungkin juga merangkum misteri iman Kristiani.
Kerahiman telah menjadi hidup dan kasat mata dalam Yesus dari Nazaret, mencapai
puncaknya dalam diri-Nya. Bapa, "kaya dengan kerahiman" (Ef 2: 4),
setelah menyatakan nama-Nya kepada Musa sebagai "Allah penyayang dan
pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya" (Kel 34:6),
tidak pernah berhenti menunjukkan, dalam berbagai cara sepanjang sejarah,
kodrat ilahi-Nya. Dalam "kegenapan waktu" (Gal 4:4), ketika segalanya
telah diatur sesuai dengan rencana keselamatan-Nya, Ia mengutus Putra-Nya ke
dalam dunia, yang lahir dari Perawan Maria, untuk menyatakan kasih-Nya bagi
kita dalam sebuah cara yang definitif. cara Siapapun yang melihat Yesus melihat
Bapa (Yoh 14: 9). Yesus dari Nazaret, dengan kata-kata-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya, dan seluruh pribadi-Nya menyatakan kerahiman Allah.
2. Kita perlu terus-menerus
merenungkan misteri kerahiman. Ia adalah sebuah sumber sukacita, ketenangan,
dan kedamaian. Keselamatan kita tergantung padanya. Kerahiman : kata tersebut
mengungkapkan sungguh-sungguh misteri Tritunggal Mahakudus. Kerahiman :
tindakan utama dan tertinggi yang olehnya Allah datang untuk menemui kita.
Kerahiman : hukum dasar yang berdiam di dalam hati setiap orang yang memandang
dengan tulus ke dalam mata saudara dan saudarinya di jalan kehidupan. Kerahiman
: jembatan yang menghubungkan Allah dan manusia, membuka hati kita kepada
sebuah harapan dikasihi selamanya meskipun kedosaan kita.
3. Kadang-kadang kita dipanggil
untuk menatap dengan lebih penuh perhatian pada kerahiman sehingga kita dapat
menjadi sebuah tanda yang lebih efektif dari tindakan Bapa dalam hidup kita.
Karena alasan ini saya telah mencanangkan sebuah Yubileum Agung Kerahiman
sebagai sebuah waktu khusus bagi Gereja; sebuah waktu ketika kesaksian umat
beriman akan tumbuh lebih kuat dan lebih efektif.
Tahun Suci akan dibuka pada tanggal
8 Desember 2015, Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda. Hari raya
liturgis ini mengingatkan tindakan Allah dari sangat awal sejarah umat manusia.
Setelah dosa Adam dan Hawa, Allah tidak ingin meninggalkan manusia sendirian
dalam pergolakan kejahatan. Maka Ia memalingkan pandangan-Nya kepada Maria,
yang kudus dan tak bernoda dalam kasih (bdk. Ef 1:4), memilihnya untuk menjadi
Bunda Sang Penebus manusia. Ketika dihadapkan dengan gentingnya dosa, Allah
menanggapi dengan kepenuhan kerahiman. Kerahiman akan selalu lebih besar dari
dosa apapun, dan tidak ada seorang pun yang dapat menempatkan batasan-batasan
kasih Allah yang selalu siap untuk mengampuni. Saya akan bersukacita membuka
Pintu Suci pada Hari Raya Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda. Pada hari
itu, Pintu Suci akan menjadi sebuah pintu kerahiman yang melalui siapa pun yang
masuk akan mengalami kasih Allah yang menghibur, mengampuni, dan menanamkan
harapan.
Pada hari Minggu berikutnya, Hari
Minggu Adven III, Pintu Suci Katedral Roma - yaitu, Basilika Santo Yohanes
Lateran - akan dibuka. Dalam minggu-minggu berikutnya, Pintu-pintu Suci dari
Basilika-basilika Kepausan lainnya akan dibuka. Pada hari Minggu yang sama,
saya akan mengumumkan bahwa dalam setiap Gereja lokal, di katedral - gereja ibu
dari umat di wilayah tertentu manapun - atau sebaliknya, pada yang setara
katedral atau gereja lain bermakna khusus, sebuah Pintu Kerahiman akan dibuka
selama Tahun Suci. Berdasarkan kebijaksanaan ordinaris setempat, sebuah pintu
yang sama dapat dibuka di setiap tempat ziarah yang sering dikunjungi oleh
kelompok-kelompok besar peziarah, karena kunjungan-kunjungan ke tempat-tempat
suci adalah saat-saat yang begitu sering dipenuhi rahmat, ketika orang-orang
menemukan sebuah jalan kepada pertobatan. Setiap Gereja partikular, oleh karena
itu, akan terlibat langsung dalam menghayati dengan lebih lama Tahun Suci ini
sebagai sebuah saat yang luar biasa rahmat dan pembaruan rohani. Dengan
demikian Yubileum akan dirayakan baik di Roma maupun di Gereja-gereja partikular
sebagai sebuah tanda kasat mata dari persekutuan universal Gereja.
4. Saya telah memilih tanggal 8
Desember karena maknanya yang kaya dalam sejarah Gereja belakangan ini. Bahkan,
saya akan membuka Pintu Suci pada ulang tahun kelimapuluh penutupan Konsili
Ekumenis Vatikan II. Gereja merasakan sebuah kebutuhan besar untuk menjaga
peristiwa ini tetap hidup. Bersama Konsili tersebut, Gereja memasuki sebuah
tahap baru sejarahnya. Para Bapa Konsili dengan sangat merasakan, sebagai
sebuah nafas sejati dari Roh Kudus, sebuah kebutuhan untuk berbicara tentang
Allah kepada pria dan wanita dari waktu mereka dengan sebuah cara yang lebih
mudah diakses. Dinding-dinding yang terlalu panjang membuat Gereja semacam
benteng yang dirobohkan dan waktunya telah tiba untuk memberitakan Injil dengan
sebuah cara baru. Ia adalah sebuah tahap baru penginjilan yang sama yang telah
ada sejak awal. Ia adalah sebuah usaha yang menyegarkan bagi semua orang
Kristiani untuk menjadi saksi bagi iman mereka dengan antusiasme dan keyakinan
yang lebih besar. Gereja merasakan sebuah tanggung jawab untuk menjadi sebuah
tanda hidup dari kasih Bapa di dunia.
Kita ingat kata-kata pedih Santo
Yohanes XXIII ketika, membuka Konsili, beliau menunjukkan jalan untuk diikuti:
"Sekarang Mempelai Kristus ingin menggunakan obat kerahiman ketimbang
mengangkat senjata kekejaman ... Gereja Katolik, karena ia memegang tinggi obor
kebenaran Katolik di Konsili Ekumenis ini, ingin menunjukkan dirinya seorang
ibu yang penuh kasih bagi semua orang, sabar, baik, tergerak oleh belas kasihan
dan kebaikan terhadap anak-anaknya yang terpisah" Beato Paulus VI berbicara dalam nada yang sama pada
penutupan Konsili : "Kami lebih memilih untuk menunjukkan bagaimana amal
telah menjadi ciri religius utama Konsili ini ... cerita lama tentang orang
Samaria yang baik telah menjadi model spiritualitas Konsili ... sebuah
gelombang kasih sayang dan kekaguman mengalir dari Konsili atas dunia modern
umat manusia. Kesalahan-kesalahan dikutuk, memang, karena amal menuntut ini tidak
kurang daripada menuntut kebenaran, tapi bagi individu-individu mereka sendiri
hanya ada teguran, rasa hormat dan kasih. Alih-alih menekankan diagnosis,
mendorong pengobatan; alih-alih dugaan-dugaan yang mengerikan, pesan-pesan
kepercayaan dikeluarkan dari Konsili kepada dunia masa kini. Nilai-nilai dunia
modern tidak hanya dihormati tetapi dijunjung, upaya-upayanya disetujui,
aspirasi-aspirasinya dimurnikan dan diberkati ... Hal lain yang kita harus
tekankan adalah ini : semua ajaran yang kaya ini disalurkan dalam satu arah,
pelayanan umat manusia, pelayanan setiap keadaan, pelayanan dalam setiap
kelemahan dan kebutuhan".
Dengan perasaan-perasaan syukur atas
segalanya ini Gereja telah menerima, dan dengan sebuah rasa tanggung jawab atas
tugas yang ada di depan, kita akan melewati ambang Pintu Suci dengan penuh
keyakinan bahwa kekuatan Tuhan yang bangkit, yang terus-menerus mendukung kita
pada jalan peziarahan kita, akan mendukung kita. Semoga Roh Kudus, yang
membimbing langkah-langkah dari orang-orang percaya dalam bekerja sama dengan
karya keselamatan yang diakibatkan oleh Kristus, membimbing jalan tersebut dan
mendukung Umat Allah sehingga mereka dapat merenungkan wajah kerahiman.
5. Tahun Yubileum akan ditutup
dengan Hari Raya liturgi Kristus Raja pada tanggal 20 November 2016. Pada hari
itu, ketika kita menyegel Pintu Suci, kita akan dipenuhi, terutama, dengan rasa
syukur dan terima kasih kepada Tritunggal Mahakudus karena telah menganugerahi
kita masa rahmat yang luar biasa. Kita akan mempercayakan kehidupan Gereja,
seluruh umat manusia, dan seluruh alam semesta kepada Ketuhanan Kristus,
meminta-Nya untuk mencurahkan kerahiman-Nya atas kita seperti embun pagi,
sehingga setiap orang dapat bekerja sama untuk membangun sebuah masa depan yang
lebih cerah. Betapa banyak saya ingin agar tahun yang akan datang akan didalami
dengan kerahiman, sehingga kita bisa pergi kepada setiap pria dan wanita,
membawa kebaikan dan kelembutan Allah! Semoga minyak urapan kerahiman menjamah
semua orang, baik orang percaya maupun orang-orang yang jauh, sebagai sebuah
tanda bahwa Kerajaan Allah sudah hadir di tengah-tengah kita!
6. "Tepatlah bagi Allah untuk
menjalankan kerahiman, dan Ia mengejawantahkan kemahakuasaan-Nya terutama
dengan cara ini". Kata-kata Santo Thomas Aquino menunjukkan bahwa kerahiman
Allah, ketimbang sebuah tanda kelemahan, adalah tanda kemahakuasaan-Nya. Karena
alasan ini liturgi, dalam salah satu kumpulannya yang paling kuno, mendapati
kita berdoa: "Ya Allah, yang menyatakan kuasa-Mu terutama dalam kerahiman
dan pengampunan-Mu ... Sepanjang sejarah umat manusia, Allah akan selalu merupakan
Dia yang hadir, dekat, ingat akan hari esok, suci, dan penuh kerahiman.
"Sabar dan penuh
kerahiman". Kata-kata ini sering berjalan bersama-sama dalam Perjanjian
Lama untuk menggambarkan sifat Allah. Penuh kerahiman-Nya secara nyata
ditunjukkan dalam banyak tindakan-Nya sepanjang sejarah keselamatan di mana
kebaikan-Nya menang atas hukuman dan kehancuran. Dalam cara khusus Mazmur
mengedepankan kemegahan tindakan-Nya yang penuh kerahiman : "Dia yang
mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang
menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia
dan rahmat" (Mzm 103:3-4). Mazmur lain, dengan cara yang lebih eksplisit,
membuktikan tanda-tanda nyata kerahiman-Nya : "Ia yang menegakkan keadilan
untuk orang-orang yang diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang
lapar. TUHAN membebaskan orang-orang yang terkurung, TUHAN membuka mata
orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi
orang-orang benar. TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda
ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya" (Mzm
146:7-9). Berikut adalah beberapa ungkapan lain dari pemazmur: "Ia
menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka; TUHAN
menegakkan kembali orang-orang yang tertindas, tetapi merendahkan orang-orang
fasik sampai ke bumi" (Mzm 147:3,6). Singkatnya, kerahiman Allah bukanlah
sebuah gagasan tak berwujud, tetapi sebuah realitas nyata yang melaluinya Ia
menyatakan kasih-Nya seperti yang dilakukan oleh seorang ayah atau seorang ibu,
yang bergerak menuju kedalaman demi kasih bagi anak mereka. Tidaklah berlebihan
dikatakan bahwa ini adalah sebuah kasih "mendalam". Ia menyembur
keluar dari kedalaman secara alami, penuh kelembutan dan kasih sayang,
indulgensi dan kerahiman.
7. "Karena kasih setia-Nya
untuk selama-lamanya". Ini adalah refren yang diulangi setelah setiap ayat
dalam Mazmur 136 karena ia menceritakan sejarah pewahyuan Allah. Oleh keutamaan
kerahiman, seluruh peristiwa Perjanjian Lama dilengkapi dengan pendatangan
keselamatan yang mendalam. Kerahiman menjadikan sejarah Allah bersama Israel
sebuah sejarah keselamatan. Mengulangi terus-menerus "karena kasih
setia-Nya untuk selama-lamanya", sebagaimana yang dilakukan pemazmur,
tampak menerobos dimensi ruang dan waktu, memasukkan segala sesuatu ke dalam
misteri kasih yang abadi. Hal ini seolah-olah mengatakan bahwa tidak hanya
dalam sejarah, tetapi untuk seluruh keabadian manusia akan selalu berada di
bawah tatapan Bapa yang penuh kerahiman. Bukan kebetulan bahwa orang-orang
Israel ingin memasukkan mazmur ini - "Hallel Agung", sebagaimana ia
disebut - dalam hari-hari raya liturginya yang paling penting.
Sebelum Sengsara-Nya, Yesus berdoa
dengan mazmur kerahiman ini. Matius membuktikan hal ini dalam Injilnya ketika
ia mengatakan bahwa, "Sesudah menyanyikan nyanyian pujian" (26:30),
Yesus dan murid-murid-Nya pergi ke Bukit Zaitun. Seraya Ia melembagakan
Ekaristi sebagai peringatan abadi bagi diri-Nya dan pengorbanan Paskah-Nya, Ia
secara simbolis menempatkan tindakan tertinggi pewahyuan ini dalam terang
kerahiman-Nya. Dalam konteks kerahiman yang sama, Yesus masuk pada sengsara dan
wafat-Nya, sadar akan misteri agung kasih yang akan Ia wujudkan di kayu salib .
Mengetahui bahwa Yesus sendiri mendoakan mazmur ini menjadikannya bahkan lebih
penting bagi kita sebagai orang-orang Kristiani, menantang kita untuk mengambil
refren tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita dengan mendoakan kata-kata
pujian ini : "karena kasih setia-Nya untuk selama-lamanya".
8. Dengan mata yang tertuju kepada
Yesus dan tatapan-Nya yang penuh kerahiman, kita mengalami kasih Tritunggal
Mahakudus. Perutusan Yesus yang diterima dari Bapa adalah perutusan
pengungkapan misteri kasih ilahi dalam kepenuhannya. "Allah adalah
kasih" (1 Yoh 4:8,16), Yohanes menegaskan untuk pertama dan satu-satunya
dalam seluruh Kitab Suci. Kasih ini sekarang telah dibuat terlihat dan nyata dalam
seluruh kehidupan Yesus. Pribadi-Nya hanyalah kasih, sebuah kasih yang
diberikan secara cuma-cuma. Hubungan-hubungan yang Ia bentuk dengan orang-orang
yang mendekati-Nya mengejawantahkan sesuatu yang nyata sepenuhnya unik dan tak
dapat diulang. Tanda-tanda yang Ia kerjakan, terutama dalam menghadapi
orang-orang berdosa, orang-orang miskin, kaum marjinal, orang-orang sakit, dan
orang-orang menderita, semua dimaksudkan untuk mengajarkan kerahiman. Segala
sesuatu di dalam diri-Nya berbicara tentang kerahiman. Tidak ada satupun dalam
diri-Nya sama sekali tanpa belas kasihan.
Yesus, melihat kerumunan orang-orang
yang mengikuti-Nya, menyadari bahwa mereka sudah lelah dan letih, tersesat dan
tanpa panduan, dan Ia merasakan belas kasihan yang mendalam terhadap mereka
(bdk. Mat 9:36). Atas dasar kasih yang penuh belas kasihan ini Ia menyembuhkan
orang-orang sakit yang dibawa kepada-Nya (bdk. Mat 14:14), dan hanya dengan
beberapa potong roti dan ikan Ia memuaskan kerumunan besar orang (bdk. Mat
15:37). Apa yang menggerakkan Yesus dalam semua situasi ini adalah tidak lain
kerahiman, yang dengannya Ia membaca hati orang-orang yang dijumpai-Nya dan
menanggapi kebutuhan terdalam mereka. Ketika Ia menjumpai janda dari Nain yang
membawa anaknya untuk dimakamkan, Ia merasakan belas kasihan yang besar
terhadap penderitaan besar dari ibu yang berduka ini, dan Ia memberi kembali
anaknya dengan membangkitkannya dari antara orang mati (bdk. Luk 7:15). Setelah
membebaskan orang kerasukan di desa Gerasa, Yesus mempercayakan dia dengan perutusan
ini: "Pulanglah ke rumahmu, kepada orang-orang sekampungmu, dan
beritahukanlah kepada mereka segala sesuatu yang telah diperbuat oleh Tuhan
atasmu dan bagaimana Ia telah mengasihani engkau!" (Mrk 5: 19). Panggilan
Matius juga dihadirkan dalam konteks belas kasih. Melewati gerai pemungut
cukai, Yesus menatap Matius. Ia adalah sebuah tampilan penuh kerahiman yang
mengampuni dosa-dosa orang itu, seorang berdosa dan seorang pemungut cukai, dia
yang dipilih Yesus - berlawanan dengan keragu-raguan dari para murid - untuk
menjadi salah seorang dari Kelompok Dua Belas. Santo Bede Venerabilis,
mengomentari perikop Injil ini, menulis bahwa Yesus memandang Matius dengan
kasih yang penuh kerahiman dan memilihnya : miserando
atque eligendo. Ungkapan ini begitu mengesankan saya sehingga saya
memilihnya untuk motto episkopal saya.
9. Dalam perumpamaan-perumpamaan
yang ditujukan untuk kerahiman, Yesus menyatakan sifat Allah seperti sifat
seorang Bapa yang tidak pernah menyerah sampai ia telah mengampuni anaknya yang
bersalah dan mengatasi penolakan dengan kasih sayang dan kerahiman. Kita
mengenal perumpamaan-perumpamaan ini dengan baik, khususnya tiga perumpamaan :
domba yang hilang, dirham yang hilang, dan ayah dengan dua anak laki-laki (bdk.
Luk 15:1-32). Dalam perumpamaan-perumpamaan ini, Allah selalu disajikan sebagai
penuh sukacita, terutama ketika Ia mengampuni. Dalam mereka kita menemukan inti
dari Injil dan inti dari iman kita, karena kerahiman disajikan sebagai sebuah
kekuatan yang mengatasi segala sesuatu, memenuhi hati dengan kasih dan membawa
penghiburan melalui pengampunan.
Dari perumpamaan lain, kita
menyisihkan suatu ajaran penting bagi kehidupan Kristiani kita. Dalam menjawab
pertanyaan Petrus tentang berapa kali perlu mengampuni, Yesus berkata :
"Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh
puluh kali tujuh kali" (Mat 18:22). Ia kemudian melanjutkan menceritakan
perumpamaan tentang "hamba yang kejam", yang, dipanggil oleh tuannya
untuk mengembalikan sejumlah besar, memohon kepadanya sambil berlutut untuk
kerahiman. Tuannya membatalkan utangnya. Tetapi ia kemudian bertemu sesama
hamba yang berutang kepadanya beberapa sen dan yang pada gilirannya memohon
sambil berlutut untuk kerahiman, tetapi hamba pertama menolak permintaannya dan
mencampakkannnya ke dalam penjara. Ketika sang tuan mendengar tentang hal itu,
ia menjadi marah dan, memanggil pelayan pertama kembali kepadanya, mengatakan,
"Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah
mengasihani engkau?" (Mat 18:33). Yesus menyimpulkan, "Maka Bapa-Ku
yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu
masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu" (Mat
18:35).
Perumpamaan ini berisi ajaran yang
mendalam bagi kita semua. Yesus menegaskan bahwa kerahiman bukan hanya suatu
tindakan Bapa, ia menjadi sebuah kriteria untuk memastikan siapa anakanak-Nya
yang sejati. Singkatnya, kita dipanggil untuk menunjukkan kerahiman karena
kerahiman pertama-tama telah ditampilkan kepada kita. Mengampuni
pelanggaran-pelanggaran menjadi ungkapan yang paling jelas dari kasih yang
penuh kerahiman, dan bagi kita orang-orang Kristiani ia sangat penting yang
daripadanya kita tidak bisa memaafkan diri kita sendiri. Kadang-kadang betapa
sulit tampaknya mengampuni! Namun pengampunan adalah alat yang ditempatkan ke
dalam tangan kita yang rapuh untuk mendapatkan ketenangan hati. Melepas amarah,
murka, kekerasan, dan balas dendam adalah kondisi-kondisi yang diperlukan untuk
hidup dengan penuh sukacita. Karena itu marilah kita mengindahkan nasihat Rasul
Paulus : "Janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu" (Ef
4:26). Terutama, marilah kita mendengarkan kata-kata Yesus yang menjadikan
kerahiman sebagai sebuah ideal kehidupan dan sebuah kriteria untuk kredibilitas
iman kita : "Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan
beroleh kemurahan" (Mat 5:7) : sabda bahagia yang kepadanya seharusnya
secara khusus kita cita-citakan di Tahun Suci ini.
Seperti yang kita lihat dalam Kitab
Suci, kerahiman adalah sebuah kata kunci yang menunjukkan tindakan Allah
terhadap kita. Ia tidak membatasi diri-Nya hanya untuk menegaskan kasih-Nya,
namun membuatnya terlihat dan nyata. Kasih, terutama, jangan hanya sebuah
keniskalaan. Pada dasarnya, ia menunjukkan sesuatu yang nyata : niat, sikap,
dan perilaku yang ditampilkan dalam kehidupan sehari-hari. Kerahiman Allah
adalah perhatian-Nya yang penuh kasih kepada kita masing-masing. Ia merasa
bertanggung jawab; yaitu, Ia menginginkan kesejahteraan kita dan Ia ingin
melihat kita bahagia, penuh sukacita, dan penuh damai. Ini adalah jalan yang
juga harus diarungi kasih yang penuh kerahiman dari orang-orang Kristiani.
Sebagaimana Bapa mengasihi, demikian juga anak-anak-Nya. Sama seperti Ia penuh
kerahiman, demikian juga kita dipanggil untuk penuh kerahiman satu sama lain.
10. Kerahiman merupakan dasar dari
kehidupan Gereja. Seluruh kegiatan pastoralnya harus terjebak dalam kelembutan
yang dihadirkannya bagi orang-orang percaya; tidak ada dalam pewartaannya dan
dalam kesaksiannya kepada dunia dapat kurang dalam kerahiman. Kredibilitas
Gereja terlihat dalam bagaimana ia menunjukkan kasih yang penuh kerahiman dan
berbelas kasihan. Gereja "memiliki sebuah keinginan tak berujung untuk
menunjukkan kerahiman". Mungkin kita sudah lama lupa bagaimana menunjukkan dan
menghayati jalan kerahiman. Godaan, di satu sisi, untuk berfokus secara
eksklusif pada keadilan membuat kita lupa bahwa ini hanya langkah pertama,
meskipun perlu dan sangat diperlukan. Tetapi Gereja perlu melampaui dan
berjuang untuk tujuan yang lebih tinggi dan lebih penting. Di sisi lain, sedih
untuk mengatakan, kita harus mengakui bahwa praktek kerahiman memudar dalam
budaya yang lebih luas. Dalam beberapa kasus kata tersebut tampaknya telah
keluar dari penggunaannya. Namun, tanpa sebuah kesaksian kerahiman, hidup
menjadi sia-sia dan mandul, seolah-olah diasingkan di sebuah gurun yang tandus.
Waktunya telah tiba bagi Gereja sekali lagi mengambil panggilan penuh sukacita
kepada kerahiman. Ini adalah waktu untuk kembali ke dasar-dasar dan menanggung
kelemahan dan perjuangan saudara dan saudari kita. Kerahiman adalah kekuatan
yang membangunkan kita kembali kepada kehidupan baru dan menanamkan dalam diri
kita keberanian untuk melihat ke masa depan dengan harapan.
11. Jangan lupa ajaran besar yang
ditawarkan oleh Santo Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya yang kedua, Dives in Misericordia, yang pada saat
itu datang secara tiba-tiba, temanya menangkap banyak orang dengan kejutan. Ada
dua perikop khusus yang kepadanya saya ingin tarik perhatian. Pertama, Santo
Yohanes Paulus II menyoroti fakta bahwa kita sudah lupa tema kerahiman dalam
lingkungan budaya hari ini : "Mentalitas masa kini, lebih mungkin dibandingkan
mentalitas orang-orang di masa lalu, tampaknya bertentangan dengan Allah
kerahiman, dan pada kenyataannya cenderung mengecualikan dari kehidupan dan
menghilangkan dari hati manusia gagasan kerahiman. Kata dan konsep 'kerahiman'
tampaknya menyebabkan kegelisahan dalam diri manusia, yang, berkat perkembangan
besar ilmu pengetahuan dan teknologi, belum pernah dikenal sebelumnya dalam
sejarah, telah menjadi empunya bumi dan telah menaklukkan dan menguasainya
(bdk. Kej 1:28). berkuasa atas bumi ini, kadang-kadang dipahami secara sepihak
dan dangkal, tampak tidak memiliki ruang bagi kerahiman ... Dan inilah mengapa,
dalam situasi Gereja dan dunia saat ini, banyak individu dan kelompok dipandu
oleh perasaan iman yang hidup sedang beralih, saya akan mengatakan hampir
secara spontan, kepada kerahiman Allah".
Selain itu, Santo Yohanes Paulus II
mendorong sebuah pewartaan yang lebih mendesak dan kesaksian bagi kerahiman di
dunia masa kini : "Hal ini ditentukan oleh kasih kepada manusia, kepada
semua yang bersifat manusiawi dan yang, menurut intuisi banyak orang sezaman
kita, terancam oleh sebuah bahaya besar. Misteri Kristus ... mewajibkan saya
untuk mewartakan kerahiman ketika kasih Allah yang penuh kerahiman, terungkap
dalam misteri Kristus yang sama. Ia juga mewajibkan saya untuk meminta bantuan
kepada kerahiman itu dan meminta-minta kepadanya pada tahap sulit, kritis dari
sejarah Gereja dan sejarah dunia".[10][10] Ajaran ini lebih bersangkut-paut daripada sebelumnya dan
layak untuk diambil kembali dalam Tahun Suci ini. Mari kita mendengarkan
kata-katanya sekali lagi: "Gereja menghayati sebuah kehidupan yang otentik
ketika ia mengakukan dan mewartakan kerahiman - sifat yang paling luar biasa
dari Sang Pencipta dan Sang Penebus - dan ketika ia membawa orang-orang dekat
dengan sumber kerahiman Sang Juruselamat, adalah sang wali dan sang
pemberi".
12. Gereja ditugaskan untuk
mewartakan kerahiman Allah, detak jantung Injil, yang dengan caranya sendiri
harus menembus hati dan pikiran setiap orang. Sang Mempelai Kristus harus
mencontoh perilakunya menurut Putra Allah yang pergi keluar untuk semua orang
tanpa kecuali. Pada hari ini, ketika Gereja dibebankan dengan tugas
evangelisasi baru, tema kerahiman perlu diusulkan lagi dan lagi dengan
kegairahan baru dan tindakan pastoral yang diperbaharui. Ini sangat penting
bagi Gereja dan bagi kredibilitas pesannya yang ia sendiri hayati dan lakukan
kesaksian bagi kerahiman. Cara bicaranya dan tindakannnya harus meneruskan
kerahiman, sehingga menyentuh hati semua orang dan mengilhami mereka sekali
lagi untuk menemukan jalan yang mengarah kepada Bapa.
Kebenaran pertama Gereja adalah
kasih Kristus. Gereja menjadikan dirinya seorang hamba dari kasih ini dan
mengantarainya kepada semua orang : sebuah kasih yang mengampuni dan mengungkapkan
dirinya sendiri dalam karunia dirinya. Akibatnya, di mana pun Gereja hadir,
kerahiman Bapa harus nyata. Di paroki-paroki, komunitas-komunitas,
lembaga-lembaga dan gerakan-gerakan kita, dengan kata lain, di mana pun ada
orang-orang Kristiani, setiap orang harus menemukan sebuah oase kerahiman.
13. Kita ingin menjalani Tahun
Yubileum ini dalam terang kata-kata Tuhan : Murah hatilah seperti Bapa.
Penginjil yang mengingatkan kita akan ajaran Yesus yang mengatakan,
"Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati"
(Luk 6:36). Ia adalah sebuah program kehidupan yang menghendaki kaya dengan
sukacita dan damai sejahtera. Perintah Yesus ditujukan kepada siapa pun yang
bersedia untuk mendengarkan suara-Nya (bdk. Luk 6:27). Agar mampu bermurah hati,
oleh karena itu, kita pertama-tama harus mengesampingkan diri kita untuk
mendengarkan Sabda Allah. Ini berarti menemukan kembali nilai keheningan dengan
tujuan untuk merenungkan Sang Sabda yang datang kepada kita. Dengan cara ini,
maka akan menjadi mungkin untuk merenungkan kerahiman Allah dan mengadopsinya
sebagai gaya hidup kita.
14. Praktek peziarahan memiliki
sebuah tempat khusus dalam Tahun Kudus, karena ia merupakan perjalanan kita
masing-masing yang dibuat dalam kehidupan ini. Kehidupan itu sendiri adalah
sebuah peziarahan, dan manusia adalah seorang "viator", seorang peziarah yang bepergian di sepanjang jalan,
membuat jalannya menuju tujuan yang dikehendaki. Demikian pula, untuk mencapai
Pintu Suci di Roma atau di tempat manapun di dunia, semua orang, masing-masing
sesuai dengan kemampuannya, akan harus membuat sebuah peziarahan. Ini akan
menjadi sebuah tanda bahwa kerahiman juga merupakan sebuah tujuan untuk diraih
dan membutuhkan dedikasi dan pengorbanan. Semoga peziarahan menjadi sebuah dorongan
untuk pertobatan : dengan melintasi ambang Pintu Suci, kita akan menemukan
kekuatan untuk merangkul kerahiman Allah dan mendedikasikan diri kita untuk
menjadi penuh kerahiman dengan orang lain sebagaimana telah dilakukan Bapa
bersama kita.
Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita
langkah-langkah peziarahan untuk mencapai tujuan kita : "Janganlah kamu
menghakimi, maka kamu pun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum,
maka kamu pun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. Berilah dan
kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan
yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu
pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu" (Luk 6:37-38) Tuhan meminta
kita terutama tidak menghakimi dan tidak menghukum. Jika ada orang yang ingin
menghindari penghakiman Allah, ia seharusnya tidak membuat dirinya hakim atas
saudara atau saudarinya. Manusia, setiap kali mereka menghakimi, melihat tidak
lebih jauh dari permukaan, sedangkan Bapa melihat ke dalam kedalaman jiwa.
Berapa banyak kata-kata membahayakan dilakukan ketika mereka termotivasi oleh
rasa cemburu dan iri hati! Menjelekkan orang lain menempatkan mereka dalam
sebuah terang yang buruk, merusak reputasi mereka dan menjadikan mereka mangsa
keinginan bergosip. Menghindari penghakiman dan penghukuman berarti, dalam arti
positif, mengetahui bagaimana menerima kebaikan dalam setiap orang dan
menghindarkan dia dari setiap penderitaan yang mungkin disebabkan oleh
penilaian sepotong-sepotong dan anggapan kita tahu segalanya tentang dia.
Tetapi ini masih belum cukup untuk mengungkapkan kerahiman. Yesus meminta kita
juga mengampuni dan memberi. Menjadi alat kerahiman karena kitalah yang pertama
kali menerima kerahiman dari Allah. Bermurah hati dengan orang lain, mengetahui
bahwa Allah menghujani kebaikan-Nya atas kita dengan kemurahan hati yang besar.
Penuh kerahiman seperti Bapa, oleh
karena itu, adalah "motto" Tahun Suci ini. Dalam kerahiman, kita
menemukan bukti bagaimana Allah mengasihi kita. Ia memberikan seluruh diri-Nya,
selalu, dengan bebas, tanpa mengharapkan imbalan. Ia datang untuk menolong kita
setiap kali kita memanggil-Nya. Betapa indahnya Gereja mengawali doa hariannya
dengan kata-kata, "Ya Allah, bersegeralah melepaskan aku, menolong aku, ya
TUHAN!" (Mzm 70:2)! Pertolongan yang kita minta sudah merupakan langkah
pertama dari kerahiman Allah bagi kita. Ia datang untuk menolong kita dalam
kelemahan kita. Dan pertolongan-Nya berupa menolong kita menerima kehadiran dan
kedekatan-Nya pada kita. Hari demi hari, tersentuh oleh kasih sayang-Nya, kita
juga bisa menjadi welas asih terhadap orang lain.
15. Dalam Tahun Suci ini, kita
mengharapkan pengalaman membuka hati kita untuk mereka yang tinggal di
pinggiran terluar masyarakat : pinggiran masyarakat modern itu sendiri
menciptakan. Berapa banyak situasi yang tidak pasti dan menyakitkan ada di
dunia saat ini! Berapa banyak luka-luka yang ditanggung oleh tubuh mereka yang
tidak memiliki suara karena jeritan mereka teredam dan tenggelam oleh ketidakpedulian
orang kaya! Selama Yubileum ini, Gereja bahkan akan lebih dipanggil untuk
menyembuhkan luka-luka tersebut, untuk meredakan mereka dengan minyak
penghiburan, untuk membebat mereka dengan kerahiman dan menyembuhkan mereka
dengan kesetiakawanan dan kepedulian yang perawatan yang seksama. Janganlah
kita jatuh ke dalam ketidakpedulian yang memalukan atau rutinitas yang monoton
yang mencegah kita untuk menemukan apa yang baru! Mari kita menangkal sinisme
yang merusak! Marilah kita membuka mata kita dan melihat penderitaan dunia,
luka-luka saudara dan saudari kita yang diingkari martabat mereka, dan marilah
kita menyadari bahwa kita didorong untuk mengindahkan jeritan mereka dengan
pertolongan! Semoga kita menjangkau mereka dan mendukung mereka sehingga mereka
dapat merasakan kehangatan kehadiran kita, persahabatan kita, dan persaudaraan
kita! Semoga jeritan mereka menjadi jeritan kita, dan bersama-sama semoga kita
mendobrak hambatan-hambatan ketidakpedulian yang terlalu sering paling
menguasai dan topeng kemunafikan dan egoisme kita!
Itulah keinginan membara saya agar,
selama Yubileum ini, orang-orang Kristiani dapat merenungkan karya jasmani
maupun rohani dari kerahiman. Ini akan menjadi cara untuk membangunkan kembali
hati nurani Anda, yang terlalu sering tumbuh membosankan dalam rupa kemiskinan.
Dan marilah kita masuk lebih dalam ke jantung Injil di mana orang miskin
memiliki sebuah pengalaman khusus akan kerahiman Allah. Yesus memperkenalkan
kita kepada karya-karya kerahiman dalam khotbah-Nya sehingga kita bisa
mengetahui apakah kita hidup sebagai murid-murid-Nya atau tidak. Marilah kita
menemukan kembali karya-karya jasmani kerahiman : memberi makan orang yang
lapar, memberi minum kepada orang yang haus, memberi pakaian orang yang
telanjang, menyambut orang asing, menyembuhkan orang sakit, mengunjungi orang
yang dipenjara, dan menguburkan orang mati. Dan janganlah kita melupakan karya
rohani kerahiman : menasehati orang yang bimbang, mengajari orang bebal,
menegur orang-orang berdosa, menghibur orang yang menderita, mengampuni
kesalahan, menanggung dengan sabar mereka yang berbuat jahat kepada kita, dan
mendoakan orang yang hidup dan yang mati.
Kita tidak bisa meluputkan kata-kata
Tuhan kepada kita, dan mereka akan menjadi kriteria yang atasnya kita akan
dihakimi : apakah kita telah memberi makan orang yang lapar dan memberikan
minum kepada orang yang haus, menyambut orang asing dan memberi pakaian kepada
orang yang telanjang, atau menghabiskan waktu dengan orang sakit dan
orang-orang dalam penjara (bdk. Mat 25:31-45). Selain itu, kita akan ditanya
apakah kita telah membantu orang lain untuk meluputkan keraguan yang
menyebabkan mereka jatuh ke dalam keputusasaan dan yang sering menjadi sebuah
sumber kesepian; apakah kita telah membantu untuk mengatasi kebodohan yang di
dalamnya jutaan orang hidup, terutama anak-anak yang kehilangan sarana yang
diperlukan untuk membebaskan mereka dari ikatan kemiskinan; apakah kita telah
dekat dengan orang yang kesepian dan menderita; apakah kita telah mengampuni
orang-orang yang telah menyakiti kita dan telah menolak segala bentuk kemarahan
dan kebencian yang mengarah pada kekerasan; apakah kita telah memiliki semacam
kesabaran yang ditunjukkan Allah, yang begitu sabar dengan kita; dan apakah
kita telah mempercayakan saudara dan saudari kita kepada Tuhan dalam doa. Dalam
masing-masing "anak-anak kecil" ini, Kristus sendiri hadir. Tubuh-Nya
akan terlihat dalam tubuh orang yang disiksa, orang yang remuk redam, orang
yang didera, orang yang kekurangan gizi, dan orang yang terasing ... yang
diakui, dijamah, dan dirawat oleh kita. Marilah kita tidak melupakan kata-kata
Santo Yohanes dari Salib : "ketika kita bersiap-siap meninggalkan
kehidupan ini, kita akan dihakimi atas dasar kasih".
16. Dalam Injil Lukas, kita menemukan
unsur penting lain yang akan membantu kita menghayati Yubileum dengan iman.
Lukas menulis bahwa Yesus, pada hari Sabat, kembali ke Nazaret dan, menurut
kebiasaan-Nya, masuk ke rumah ibadat. Mereka memanggil-Nya untuk membaca Kitab
Suci dan membahasnya. Perikop ini adalah dari Kitab Yesaya di mana ada tertulis
: "Roh Tuhan ALLAH ada padaku, oleh karena TUHAN telah mengurapi aku; Ia
telah mengutus aku untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang sengsara,
dan merawat orang-orang yang remuk hati, untuk memberitakan pembebasan kepada
orang-orang tawanan, dan kepada orang-orang yang terkurung kelepasan dari
penjara, untuk memberitakan tahun rahmat TUHAN" (Yes 61:1-2). Sebuah " tahun rahmat Tuhan" atau
"kerahiman" : ini adalah apa yang diwartakan Tuhan dan ini adalah apa
yang ingin kita hayati sekarang. Tahun Suci ini akan membawa ke depan kekayaan
perutusan Yesus yang bergema dalam kata-kata nabi : membawa sebuah kata dan
sikap penghiburan kepada orang miskin, memberitakan kebebasan kepada mereka terikat
oleh bentuk-bentuk baru perbudakan dalam masyarakat modern, memulihkan
penglihatan bagi mereka yang tidak bisa melihat lagi karena mereka terjebak
dalam diri mereka sendiri, mengembalikan martabat bagi semua orang, yang
daripadanya telah dirampok. Pewartaan Yesus dibuat terlihat lagi dalam
tanggapan iman. Orang-orang Kristiani dipanggil untuk menawarkan kesaksian
mereka. Semoga kata-kata Rasul Paulus menyertai kita. Barangsiapa yang
melakukan tindakan kerahiman, biarkan dia melakukannya dengan keceriaan (bdk.
Rm 12:8).
17. Masa Prapaskah selama Tahun
Yubileum ini juga seharusnya dihayati dengan lebih intens sebagai momen
istimewa untuk merayakan dan mengalami kerahiman Allah. Berapa banyak halaman
Kitab Suci sesuai untuk bermeditasi selama minggu-minggu Prapaskah membantu
kita menemukan kembali wajah Bapa yang penuh kerahiman! Kita dapat mengulangi
kata-kata nabi Mikha dan menjadikan kata-kata itu milik kita : Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni
dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang
tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada
kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan
kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir
laut (bdk. 7:18-19).
Halaman-halaman dari nabi Yesaya juga dapat direnungkan
secara nyata selama masa doa, puasa, dan karya amal
ini : "Bukan!
Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu
kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang
teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi
orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan
apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan
tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri! Pada waktu itulah
terangmu akan merekah seperti fajar dan lukamu akan pulih dengan segera;
kebenaran menjadi barisan depanmu dan kemuliaan TUHAN barisan belakangmu. Pada
waktu itulah engkau akan memanggil dan TUHAN akan menjawab, engkau akan
berteriak minta tolong dan Ia akan berkata: Ini Aku! Apabila engkau tidak lagi
mengenakan kuk kepada sesamamu dan tidak lagi menunjuk-nunjuk orang dengan jari
dan memfitnah, apabila engkau menyerahkan kepada orang lapar apa yang
kauinginkan sendiri dan memuaskan hati orang yang tertindas maka terangmu akan
terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang tengah hari. TUHAN akan
menuntun engkau senantiasa dan akan memuaskan hatimu di tanah yang kering, dan
akan membaharui kekuatanmu; engkau akan seperti taman yang diairi dengan baik
dan seperti mata air yang tidak pernah mengecewakan” (58:6-11).
Prakarsa "24 Jam bagi Tuhan", yang akan dirayakan pada hari Jumat
dan Sabtu sebelum Minggu Prapaskah
IV, harus
dilaksanakan di setiap keuskupan. Begitu banyak
orang, termasuk kaum muda, sedang kembali kepada Sakramen Rekonsiliasi; melalui
pengalaman ini mereka sedang menemukan kembali sebuah jalan pulang kepada Tuhan, menghayati sebuah saat doa yang
intens dan menemukan
makna dalam kehidupan mereka. Marilah sekali lagi kita menempatkan Sakramen Rekonsiliasi di pusat sebuah jalan sedemikian rupa yang akan
memungkinkan orang-orang untuk menyentuh kemegahan kerahiman Allah dengan tangan mereka sendiri. Bagi setiap peniten, itu akan menjadi sebuah sumber kedamaian batin yang sejati.
Saya tidak akan pernah bosan
mendesak agar para bapa pengakuan menjadi tanda-tanda otentik kerahiman Bapa.
Kita tidak menjadi bapa pengakuan yang baik secara otomatis. Kita menjadi bapa
pengakuan yang baik ketika, terutama, kita membiarkan diri kita menjadi peniten
dalam pencarian kerahiman-Nya. Marilah kita tidak pernah lupa bahwa menjadi
bapa pengakuan berarti ikut serta dalam perutusan Yesus untuk menjadi sebuah
tanda nyata dari keteguhan kasih ilahi yang mengampuni dan menyelamatkan. Kita
para imam telah menerima karunia Roh Kudus untuk pengampunan dosa, dan kita
bertanggung jawab untuk hal ini. Tak satu pun dari kita memegang kekuasaan atas
Sakramen ini; sebaliknya, kita adalah hamba-hamba yang setia dari kerahiman
Allah melaluinya. Setiap bapa pengakuan harus menerima umat seperti sang bapa
dalam perumpamaan tentang anak yang hilang: seorang bapa yang lari keluar untuk
bertemu anaknya meskipun faktanya ia telah menyia-nyiakan warisannya. Para bapa
pengakuan dipanggil untuk merangkul anak yang bertobat yang datang kembali ke
rumah dan mengungkapkan sukacita memiliki dia kembali pulang. Marilah kita
tidak pernah bosan juga pergi keluar kepada anak lainnya yang berdiri di luar,
yang tidak mampu sukacita, untuk menjelaskan kepadanya bahwa penghakiman-Nya
kejam dan tidak adil serta tidak berarti dalam terang kerahiman bapa yang tak
terbatas. Semoga para bapa pengakuan tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang tidak berguna, tetapi seperti sang bapa dalam perumpamaan itu, menyela
penjelasan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh sang anak yang hilang,
sehingga para bapa pengakuan akan belajar menerima permohonan untuk bantuan dan
kerahiman yang memancar dari hati setiap peniten. Singkatnya, para bapa
pengakuan dipanggil untuk menjadi sebuah tanda keutamaan kerahiman selalu, di
mana-mana, dan dalam setiap situasi, tidak peduli apapun juga.
18. Selama Masa Prapaskah Tahun Suci ini, saya berniat
mengirimkan Para Misionaris Kerahiman. Mereka akan menjadi sebuah
tanda perhatian
keibuan Gereja bagi Umat Allah, yang memungkinkan mereka memasuki kekayaan yang mendalam dari misteri yang begitu mendasar bagi iman
ini. Akan ada para imam yang kepadanya saya akan memberikan wewenang untuk mengampuni dosa-dosa bahkan yang disediakan untuk Takhta Suci,
sehingga luasnya mandat mereka sebagai para
bapa pengakuan bahkan akan menjadi lebih jelas.
Mereka akan menjadi, terutama, tanda-tanda hidup kesiapan Bapa untuk menyambut mereka yang mencari pengampunan-Nya. Mereka akan menjadi para
misionaris kerahiman karena mereka akan menjadi para fasilitator
sebuah perjumpaan manusia yang sesungguhnya, sebuah sumber pembebasan, kaya dengan tanggung
jawab untuk mengatasi rintangan-rintangan dan kembali mengambil kehidupan baru Baptisan. Mereka akan dituntun dalam perutusan mereka dengan
kata-kata Rasul Paulus : "Sebab Allah telah mengurung
semua orang dalam ketidaktaatan, supaya Ia dapat menunjukkan kemurahan-Nya atas
mereka semua" (Rm 11:32). Setiap orang,
pada kenyataannya, tanpa kecuali, dipanggil untuk merangkul panggilan kepada kerahiman. Semoga para Misionaris ini menghayati panggilan ini dengan jaminan bahwa mereka dapat mengarahkan mata mereka pada Yesus, “Imam
Besar yang penuh belas kasihan dan setia dalam pelayanan Allah" (Ibr
2:17).
Saya meminta saudara saya para
uskup untuk
mengundang dan menyambut para Misionaris ini sehingga mereka dapat menjadi, terutama, para
pewarta kerahiman yang meyakinkan. Semoga masing-masing
keuskupan mengatur
"perutusan-perutusan kepada umat" sedemikian rupa sehingga para
misionaris ini dapat menjadi para pembawa sukacita dan pengampunan. Para uskup diminta untuk merayakan Sakramen Rekonsiliasi dengan
umat mereka sehingga waktu kerahiman yang ditawarkan oleh Tahun Yubileum akan menjadikannya mungkin bagi banyak putra dan putri Allah untuk
mengambil kembali perjalanan ke rumah Bapa. Semoga para gembala, terutama selama masa liturgi
Prapaskah, rajin memanggil kembali umat "menghampiri
takhta kasih karunia, supaya kita menerima rahmat dan menemukan kasih
karunia" (Ibr 4:16).
19. Semoga pesan kerahiman menjangkau semua orang,
dan semoga tidak ada yang tidak mempedulikan
panggilan untuk mengalami kerahiman. Saya menujukan undangan ini
untuk pertobatan lebih sungguh-sungguh kepada mereka yang perilakunya menjauhkan mereka dari rahmat Allah. Saya
secara khusus memiliki dalam pikiran para pria dan wanita yang menjadi milik organisasi-organisasi kriminal
apapun. Untuk kebaikan mereka sendiri, saya meminta mereka untuk mengubah kehidupan mereka. Saya meminta mereka hal ini dalam nama Putra Allah yang, meskipun menolak dosa,
tidak pernah menolak orang berdosa. Jangan jatuh ke dalam perangkap berpikir yang mengerikan bahwa kehidupan tergantung pada uang dan bahwa, dibandingkan dengan uang, hal apapun tidak bernilai atau bermartabat. Ini tidak lain hanyalah sebuah khayalan! Kita tidak
bisa membawa uang bersama kita ke dalam kehidupan alam baka. Uang tidak membawakan kita
kebahagiaan. Kekerasan yang ditimbulkan demi mengumpulkan kekayaan yang direndam dalam darah membuat orang tidak berdaya maupun tidak abadi. Setiap orang, cepat atau lambat, akan dikenakan
hukuman Allah, yang daripadanya
tidak ada yang
bisa melarikan diri.
Undangan yang sama diperpanjang
kepada mereka yang melanggengkan maupun ikut serta dalam korupsi. Luka bernanah
ini adalah sebuah dosa berat yang berteriak ke surga untuk balas dendam, karena
ia mengancam dasar-dasar kehidupan pribadi dan sosial. Korupsi mencegah kita
dari melihat ke masa depan dengan harapan, karena keserakahan tiraninya yang
menghancurkan rencana orang lemah dan menginjak-injak orang yang paling miskin
dari orang miskin. Ia adalah sebuah kejahatan yang melekatkan dirinya sendiri
ke dalam tindakan kehidupan sehari-hari dan menyebar, menyebabkan skandal
publik yang besar. Korupsi adalah sebuah pengerasan hati yang penuh dosa yang
menggantikan Allah dengan khayalan bahwa uang adalah sebuah bentuk kekuasaan.
Ia adalah sebuah karya kegelapan, yang diberi makan oleh prasangka dan intrik.
Corruptio optimi pessima, Santo Gregorius Agung mengatakan dengan alasan yang
baik, menegaskan bahwa tidak ada yang bisa menganggap dirinya kebal dari godaan
ini. Jika kita ingin mengendalikannya keluar dari kehidupan pribadi dan sosial,
kita perlu kehati-hatian, kewaspadaan, loyalitas, transparansi, bersama-sama
dengan keberanian untuk mengecam laku kesalahan apapun. Jika ia tidak diperangi
secara terbuka, cepat atau lambat semua orang akan menjadi kaki tangannya, dan
ia akan berakhir menghancurkan keberadaan kita.
Ini adalah saat yang tepat untuk mengubah kehidupan kita! Ini adalah waktu untuk memungkinkan hati kita untuk dijamah! Ketika dihadapkan dengan perbuatan-perbuatan jahat, bahkan dalam rupa kejahatan-kejahatan serius, ia adalah waktu
untuk mendengarkan jeritan orang-orang yang tidak
bersalah yang dirampas harta mereka, martabat mereka, perasaan mereka, dan
bahkan kehidupan mereka. Melekat kepada jalan kejahatan hanya akan membiarkan orang
terperdaya dan bersedih. Kehidupan sejati adalah sesuatu yang sama sekali
berbeda. Allah tidak pernah lelah menjangkau kita. Ia selalu siap
mendengarkan, sama seperti saya juga, bersama
dengan saudara saya para uskup dan para imam. Yang perlu
dilakukan semua orang adalah menerima undangan untuk pertobatan dan menyerahkan dirinya kepada keadilan selama waktu khusus kerahiman
yang ditawarkan
oleh Gereja ini.
20. Pada titik ini tidak akan keluar tempat untuk
mengingat hubungan antara keadilan dan kerahiman. Ini bukan dua
kenyataan yang saling
bertentangan, tetapi dua dimensi dari sebuah kenyataan tunggal yang
terbentang secara bertahap sampai ia
memuncak dalam
kepenuhan cinta. Keadilan adalah sebuah
konsep dasar
bagi masyarakat sipil, yang dimaksudkan untuk diatur oleh aturan hukum.
Keadilan juga dipahami sebagai sesuatu yang benar berkat setiap individu. Dalam Alkitab, ada banyak acuan untuk keadilan ilahi dan untuk
Allah sebagai
"hakim". Dalam ayat-ayat ini, keadilan dipahami sebagai ketaatan
penuh terhadap Hukum dan perilaku setiap orang Israel yang baik
dalam kesesuaian dengan perintah-perintah Allah. Visi seperti itu, namun, tidak jarang
menyebabkan legalisme dengan membelokkan makna asli
keadilan dan mengaburkan nilainya yang mendalam.
Untuk mengatasi perspektif legalistik
ini, kita perlu mengingat bahwa dalam Kitab Suci, keadilan dipahami pada
dasarnya sebagai pelepasan diri umat kepada
kehendak Allah.
Sementara itu, Yesus berbicara beberapa kali tentang pentingnya iman atas
dan di atas ketaatan hukum. Dalam pengertian
inilah kita harus memahami kata-kata-Nya ketika bersandar di meja dengan Matius serta para pemungut cukai dan orang-orang berdosa lainnya, Ia berkata kepada orang-orang Farisi yang
mengajukan keberatan
kepada-Nya, "Jadi pergilah dan pelajarilah
arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan,
karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Mat 9:13). Berhadapan dengan visi keadilan sebagai
ketaatan hukum belaka yang menghakimi orang hanya dengan
membagi mereka menjadi dua kelompok - orang-orang
benar dan orang-orang
berdosa - Yesus bertekad untuk mengungkapkan karunia besar kerahiman yang mencari keluar orang-orang berdosa dan menawarkan
mereka pengampunan dan keselamatan. Orang dapat melihat mengapa, atas dasar visi
kerahiman yang membebaskan seperti itu sebagai sebuah sumber
kehidupan baru, Yesus ditolak oleh orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat lainnya. Dalam upaya
untuk tetap setia kepada hukum, mereka hanya
menempatkan beban
di pundak orang lain dan merusak kerahiman Bapa. Seruan untuk menaati
hukum tidak harus mencegah perhatian dari yang diberikan kepada hal-hal yang
menyentuh martabat manusia.
Seruan Yesus membuat teks dari kitab nabi
Hosea - "Sebab Aku menyukai kasih setia, dan bukan korban sembelihan"
(6:6) - penting dalam hal ini. Yesus
menegaskan bahwa, sejak saat itu dan seterusnya, aturan hidup dari para murid-Nya harus
menempatkan kerahiman di pusat, seperti ditunjukkan Yesus sendiri dengan berbagi makanan bersama orang-orang berdosa. Kerahiman, sekali lagi,
terungkap sebagai aspek dasariah perutusan Yesus. Ini benar-benar menantang para pendengar-Nya, yang akan
menarik garis pada rasa hormat formal terhadap hukum. Yesus, di sisi
lain, melampaui hukum, persekutuan
yang Ia jaga dengan orang-orang yang dianggap
hukum orang-orang
berdosa membuat kita menyadari kedalaman kerahiman-Nya.
Rasul Paulus membuat sebuah
perjalanan serupa. Sebelum bertemu Yesus di jalan menuju Damsyik, ia
mendedikasikan hidupnya untuk mengejar keadilan hukum dengan semangat (bdk. Flp
3:6). Pertobatannya kepada Kristus menuntunnya untuk mengubah visi yang
terbalik itu, ke titik yang akan ia tulis kepada orang-orang Galatia:
"Kami pun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh
karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab:
"tidak ada seorang pun yang dibenarkan" oleh karena melakukan hukum
Taurat" (2:16).
Pemahaman Paulus akan keadilan berubah secara radikal. Dia sekarang menempatkan iman pertama-tama, bukan keadilan. Keselamatan datang bukan melalui
ketaatan hukum, tetapi melalui iman di dalam Yesus Kristus, yang dalam kematian
dan kebangkitan-Nya membawa keselamatan bersama-sama dengan sebuah kerahiman yang membenarkan. Keadilan Allah sekarang menjadi
kekuatan yang membebaskan bagi mereka yang tertindas oleh perbudakan dosa dan
konsekuensinya. Keadilan Allah adalah kerahiman-Nya (bdk. Mzm 51: 11-16).
21. Kerahiman tidak menentang keadilan melainkan
mengungkapkan cara Allah untuk menjangkau orang berdosa, menawarkan kepadanya sebuah kesempatan baru untuk melihat diri-Nya, bertobat, dan percaya. Pengalaman nabi Hosea
dapat membantu kita melihat cara
yang di dalamnya kerahiman melampaui keadilan. Zaman yang di dalamnya Nabi hidup
adalah salah satu yang paling dramatis dalam sejarah orang-orang Yahudi.
Kerajaan sedang terhuyung-huyung di tepi kehancuran; umat tidak tetap setia terhadap perjanjian; mereka telah lari dari Allah dan kehilangan iman nenek moyang mereka. Menurut logika
manusia, tampak masuk akal bagi Allah untuk memikirkan menolak umat yang tidak setia; mereka tidak menaati perjanjian mereka dengan
Allah dan karena itu yang pantas hanya hukuman: dengan kata lain,
pengasingan. Kata-kata nabi membuktikan hal ini: "Mereka harus kembali ke
tanah Mesir, dan Asyur akan menjadi raja mereka, sebab mereka menolak untuk
bertobat" (Hos 11:5). Namun, setelah permohonan keadilan ini, nabi secara radikal mengubah pidatonya dan
mengungkapkan wajah Allah yang sesungguhnya : "Masakan Aku
membiarkan engkau, hai Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel? Masakan Aku
membiarkan engkau seperti Adma, membuat engkau seperti Zeboim? Hati-Ku berbalik
dalam diri-Ku, belas kasihan-Ku bangkit serentak. Aku tidak akan melaksanakan
murka-Ku yang bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab
Aku ini Allah dan bukan manusia, Yang Kudus di tengah-tengahmu, dan Aku tidak
datang untuk menghanguskan" (11:8-9). Santo Agustinus, hampir-hampir seolah-olah ia sedang mengomentari
kata-kata nabi ini, mengatakan: "Lebih mudah bagi
Allah untuk menahan amarah daripada
kerahiman". Dan sehingga
murka Allah berlangsung hanya sekejap mata, tetapi
kerahiman-Nya selama-lamanya.
Jika Allah membatasi diri-Nya hanya kepada keadilan, Ia akan berhenti
menjadi Allah, dan sebaliknya akan menjadi seperti
manusia yang meminta hanya hukum yang harus dihormati. Tetapi keadilan belaka tidak cukup. Pengalaman menunjukkan bahwa sebuah seruan untuk keadilan saja akan mengakibatkan kehancurannya. Inilah sebabnya mengapa Allah melampaui keadilan dengan kerahiman dan pengampunan-Nya. Namun ini tidak berarti bahwa
keadilan harus direndahkan atau dijadikan berlebihan.
Sebaliknya: siapapun yang melakukan sebuah kesalahan harus membayar harganya. Namun, ini hanya awal pertobatan, bukan akhir, karena orang mulai
merasakan kelembutan dan kerahiman Allah. Allah tidak menolak keadilan. Ia malahan
menyelubunginya dan melampauinya dengan sebuah
peristiwa yang lebih
besar yang di dalamnya kita mengalami
kasih sebagai dasar keadilan sejati. Kita
harus memperhatikan apa yang dikatakan Santo Paulus jika kita ingin menghindari membuat kesalahan yang sama yang karenanya ia mencela orang-orang Yahudi pada zamannya : Sebab, “oleh karena mereka tidak mengenal kebenaran Allah dan oleh karena mereka
berusaha untuk mendirikan kebenaran mereka sendiri, maka mereka tidak takluk
kepada kebenaran Allah. Sebab Kristus adalah kegenapan hukum Taurat, sehingga
kebenaran diperoleh tiap-tiap orang yang percaya”
(Rm 10:3-4). Keadilan Allah adalah kerahiman-Nya yang
diberikan kepada semua orang sebagai rahmat yang mengalir dari kematian dan
kebangkitan Yesus Kristus. Dengan demikian Salib Kristus adalah penghakiman
Allah atas kita semua dan atas seluruh dunia,
karena melaluinya Ia menawarkan kita kepastian kasih dan kehidupan baru.
22. Sebuah Yubileum juga memerlukan pemberian indulgensi.
Praktek ini akan memperoleh arti lebih penting dalam Tahun Suci Kerahiman. Pengampunan Allah tidak mengenal batas. Dalam kematian
dan kebangkitan Yesus Kristus, Allah membuat bahkan
lebih jelas kasih-Nya dan kekuatannya menghancurkan semua
dosa manusia. Rekonsiliasi dengan Allah dimungkinkan melalui misteri Paskah dan
pengantaraan Gereja. Dengan demikian Allah selalu siap untuk mengampuni, dan Ia tidak pernah lelah mengampuni dengan cara
yang terus-menerus baru dan mengejutkan. Namun demikian, kita semua mengenal dengan baik pengalaman dosa. Kita tahu bahwa kita dipanggil kepada kesempurnaan (bdk. Mat 5:48), namun kita merasakan beban berat dari dosa. Meskipun kita merasakan kekuatan rahmat perubahan, kita juga merasakan
pengaruh-pengaruh dosa khas keadaan kejatuhan kita. Meskipun diampuni, konsekuensi yang bertentangan dari
dosa-dosa kita
tetap ada. Dalam Sakramen Rekonsiliasi, Allah
mengampuni dosa-dosa kita, yang mana
Ia benar-benar
menghapus dosa; namun dosa meninggalkan pengaruh
buruk pada cara kita
berpikir dan bertindak. Namun kerahiman Allah lebih
kuat daripada hal ini. Ia menjadi indulgensi di pihak Bapa yang, melalui Sang Mempelai Kristus, Gereja-Nya, menjangkau orang berdosa yang
diampuni dan
membebaskan dia dari setiap sisa yang
ditinggalkan oleh konsekuensi dosa, yang memungkinkan dia untuk bertindak
dengan amal, bertumbuh dalam kasih daripada jatuh kembali ke dalam dosa.
Gereja hidup di dalam persekutuan para kudus. Dalam Ekaristi, persekutuan ini, yang merupakan sebuah karunia dari Allah, menjadi sebuah kesatuan rohani yang mengikat
kita kepada para santo/santa dan beato/beata yang jumlahnya
sulit dihitung (bdk. Why 7:4).
Kekudusan mereka datang untuk membantu kelemahan kita dengan cara yang
memungkinkan Gereja, dengan doa-doa keibuannya dan cara hidupnya, membentengi kelemahan dari beberapa orang dengan kekuatan
orang lain. Oleh karena itu, menghidupi indulgensi dari Tahun Kudus
berarti menjangkau kerahiman Bapa dengan
kepastian bahwa pengampunan-Nya meluas ke
seluruh kehidupan orang percaya. Mendapatkan sebuah indulgensi adalah mengalami kekudusan Gereja, yang melimpahkan atas semua orang
buah-buah penebusan Kristus, sehingga kasih dan pengampunan Allah
dapat diperpanjang di mana-mana. Marilah kita menghidupi Yubileum ini dengan
intens, memohon
Bapa untuk mengampuni dosa-dosa kita dan untuk
memandikan kita dalam “indulgensi”-Nya yang penuh kerahiman.
23. Ada aspek kerahiman yang melampaui batas-batas Gereja. Ia mengaitkan kita kepada Yudaisme dan
Islam, keduanya menganggap kerahiman
adalah salah satu sifat Allah yang paling penting. Israel adalah yang pertama menerima pewahyuan ini yang berlanjut dalam sejarah sebagai sumber dari sebuah kekayaan yang tak habis-habisnya yang dimaksudkan untuk dibagikan dengan seluruh umat manusia.
Sebagaimana telah kita lihat, halaman-halaman Perjanjian Lama tenggelam dalam kerahiman, karena mereka menceritakan karya-karya yang ditunjukkan Tuhan dalam mendukung umat-Nya di saat-saat yang paling
sulit dari sejarah mereka. Di antara nama-nama istimewa yang dikenakan Islam kepada Sang Pencipta adalah "Penuh Kerahiman dan Baik". Permohonan ini sering berada
di bibir umat Muslim yang merasakan diri mereka didampingi dan ditopang oleh kerahiman dalam kelemahan mereka sehari-hari. Mereka juga percaya
bahwa tidak ada yang dapat menempatkan sebuah
batasan pada kerahiman ilahi karena pintunya selalu terbuka.
Saya percaya bahwa tahun Yubileum merayakan kerahiman Allah ini akan
menumbuhkan sebuah perjumpaan dengan
agama-agama ini dan dengan
tradisi-tradisi agama mulia lainnya; semoga
ia membuka kita untuk lebih kuat berdialog sehingga kita bisa saling
mengenal dan memahami dengan lebih baik; semoga ia menghilangkan segala bentuk ketertutupan pikiran dan ketidakhormatan, dan mengusir
setiap bentuk kekerasan dan diskriminasi.
24. Pikiran saya sekarang beralih kepada
Bunda Kerahiman. Semoga kemanisan roman mukanya mengawasi kita di Tahun Suci ini,
sehingga kita semua dapat menemukan kembali sukacita kelembutan
Allah. Tidak ada yang telah menembus misteri mendalam dari Penjelmaan seperti Maria. Seluruh kehidupannya terpola setelah kehadiran kerahiman yang menjadi manusia. Bunda dari Dia yang Tersalib dan Bangkit telah memasuki tempat kudus kerahiman ilahi karena ia ikut
serta secara intim dalam misteri kasih-Nya.
Dipilih untuk menjadi Bunda dari Putra Allah, Maria, sejak awal, dipersiapkan oleh kasih Allah untuk menjadi Tabut
Perjanjian antara Allah dan manusia. Ia menyimpan kerahiman ilahi dalam hatinya dalam keselarasan yang sempurna
dengan Putranya Yesus. Kidung pujiannya, yang dinyanyikan di ambang rumah Elisabet, didedikasikan bagi kerahiman Allah yang membentang dari
"generasi ke generasi" (Luk 1:50). Kita juga termasukkan dalam kata-kata nubuatan Perawan Maria.
Ini akan menjadi sebuah sumber penghiburan dan kekuatan bagi kita karena kita melintasi ambang Tahun
Suci untuk mengalami buah-buah kerahiman ilahi.
Di kaki salib, Maria, bersama-sama dengan Yohanes, sang murid terkasih, menyaksikan
kata-kata pengampunan yang diucapkan oleh Yesus. Ungkapan tertinggi
kerahiman ini terhadap
orang-orang yang menyalibkan Dia menunjukkan kepada kita titik yang kepadanya dapat dicapai kerahiman Allah. Maria membuktikan bahwa kerahiman Putra Allah tidak mengenal batas dan meluas kepada semua orang, tanpa kecuali. Marilah kita menujukan kepadanya dalam kata-kata Salve Regina,sebuah doa yang sungguh kuno dan baru, sehingga ia tidak pernah lelah memutar matanya yang penuh kerahiman kepada kita, dan membuat kita layak untuk
merenungkan sang wajah kerahiman, Putranya
Yesus.
Doa kita juga meluas kepada para santo/santa dan para
beato/beata yang menjadikan kerahiman ilahi perutusan mereka dalam kehidupan.
Saya terutama memikirkan rasul besar kerahiman, Santa Faustina Kowalska. Semoga ia, yang dipanggil memasuki kedalaman kerahiman ilahi, mengantarai bagi kita dan
mendapatkan bagi kita rahmat selalu hidup dan berjalan sesuai dengan kerahiman Allah dan dengan kepercayaan yang tak tergoyahkan dalam
kasih-Nya.
25. Saya menghadirkan, oleh karena
itu, Tahun Yubileum Agung ini yang
didedikasikan untuk menghidupi dalam kehidupan sehari-hari kita kerahiman yang terus menerus diluaskan Bapa kepada kita semua. Dalam Tahun Yubileum ini, marilah kita memungkinkan Allah untuk
mengejutkan kita. Ia tidak pernah lelah melempar membuka pintu hati-Nya dan
mengulangi bahwa Ia mengasihi kita dan ingin berbagi
kasih-Nya dengan kita. Gereja merasa
memerlukan
kebutuhan mendesak untuk
memberitakan kerahiman Allah. Hidupnya otentik dan dapat dipercaya hanya ketika ia menjadi pewarta kerahiman
yang meyakinkan. Ia tahu bahwa tugas utamanya, terutama pada saat penuh harapan-harapan besar dan tanda-tanda pertentangan, adalah
memperkenalkan kepada semua orang misteri agung kerahiman Allah dengan merenungkan wajah Kristus. Gereja dipanggil
terutama untuk menjadi saksi kerahiman yang dapat
dipercaya, mengakukannya dan menghidupinya sebagai inti pewahyuan Yesus Kristus.
Dari hati Tritunggal, dari
kedalaman misteri Allah, sungai besar kerahiman
menyembul dan meluap
tanpa henti. Ia adalah sebuah
mata air yang tidak
akan pernah kering, tidak peduli berapa banyak orang yang mendekatinya. Setiap kali seseorang membutuhkan, ia bisa
mendekatinya, karena kerahiman Allah tidak pernah berakhir. Kedalaman misteri yang mengelilinginya adalah sama tak habis-habisnya dengan kekayaan yang memancar daripadanya.
Dalam Tahun Yubileum ini, semoga Gereja menggemakan sabda Allah yang berkumandang kuat dan jelas sebagai sebuah
pesan dan sebuah tanda pengampunan, kekuatan, bantuan, dan kasih. Semoga ia tidak pernah lelah memperluas kerahiman, serta senantiasa sabar dalam menawarkan kasih sayang
dan kenyamanan. Semoga Gereja menjadi suara setiap pria dan wanita, dan mengulanginya dengan percaya diri tanpa akhir:
"Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya TUHAN, sebab semuanya
itu sudah ada sejak purbakala" (Mzm 25:6).
Diberikan di Roma, di Santo Petrus, pada tanggal 11 April, Vigili Hari Minggu Paskah II, atau Hari Minggu Kerahiman Ilahi, dalam tahun Tuhan kita 2015, tahun ketiga Pontifikat saya.
FRANSISKUS