WAJAH KUDUS
DI INDONESIA
P. Felix Baghi SVD
Wajah-Mu, kucari ya Tuhan, wajah-Mu kucari
Pendahuluan
Pada tahun 2021, kita memperingati 30 tahun kehadiran Kongregasi Wajah Kudus di Indonesia. Kehadiran ini dirayakan sebagai un dono di Dio di Indonesia, suatu pemberian istimewah untuk gereja lokal dan umat katholik di pulau Flores, Timor, dan Sumba.
Ketika tiba di Indonesia tahun 1991, kongregasi Wajah Kudus datang dengan satu semangat dasar, yaitu memancarkan cahaya Wajah Kudus di tanah air. Sesuai pesan ibu Pendiri: “Wajah Yesus harus dibawa ke setiap pelosok dunia melalui semangat cinta kasih para suster yang telah menyerahkan diri kepada-Nya.”
Kehadiran kongregasi ini, kita rayakan sebagai suatu syukur atas kebaikan dan kebesaran Tuhan lewat para suster Wajah Kudus. Sejak kedatangan pertama 30 tahun yang lalu, para suster Wajah Kudus memijakan kaki pertama di Flores dan mulai mengayunkan langkah secara sederhana namun pasti.
Pada kesempatan ini, kita ingin merefleksikan kembali ayunan langkah pertama para suster Wajah Kudus yang datang ke Indonesia, dan kita bersyukur bahwa ayunan langkah pertama itu telah berkembang menjadi suatu langkah besar di Flores, Timor dan Sumba.
Pertanyaan penting yang muncul adalah: bagaimana langkah awal itu dimulai dan mengapa langkah itu tidak pernah berhenti sampai sekarang? Pertanyaan ini dapat dijawab oleh para suster Wajah Kudus dengan melihat kembali napak tilas, membaca jejak-jejak kaki para suster yang membawa Wajah Kudus Yesus di pelosok Indonesia selama 30 tahun terakhir ini.
Mari kita refleksikan beberapa aspek penting dari spiritualitas kongregasi Wajah Kudus sebagai syukur atas 30 tahun berkarya di Indonesia dan sebagai rencana untuk karya selanjutnya ke depan.
Refleksi ini kita tempatkan dalam misi perutusan gereja universal. Sejak Konsili Vatikan II, banyak kongregasi menjalani tugas perutusan sebagai usaha untuk berpartisipasi dengan misi Ad Gentes, perutusan kepada bangsa-bangsa. Perutusan para suster Wajah Kudus ke Indonesia dilihat sebagai partisipasi dengan perutusan gereja. Refleksi ini akan lebih banyak bertolak dari Konstitusi Kongregasi Wajah Kudus dan dari Surat-Surat dan Pikiran Beata Maria Pia Mastena yang termuat dalam karya penting Luci da Luce.
2. Kongregasi Wajah Kudus Mengambil Bagian Dalam Misi Ad Gentes
Saya ingin mengawali refleksi perjalanan kongregasi Wajah Kudus di Indonesia bertolak dari karya misi gereja. Apa yang telah dilakukan para suster Wajah kudus di Indonesia adalah berpartisipasi dalam kegiatan misioner gereja sebagaimana ditegaskan oleh Konsili Vatikan II sebagai misi Ad Gentes. Kita ingin merenung bersama apakah Wajah Kudus berhasil atau tidak dalam membangun gereja lokal selama 30 tahun di Indonesia khususnya di Flores, Timor dan Sumba?
Melalui artikel 19 dari Dekrit Ad Gentes, kita membaca tentang situasi gereja lokal yang sudah berkembang.
Dalam arti tertentu karya penanaman Gereja pada golongan manusia tertentu mencapai sasarannya, bila jemaat beriman telah berakar dalam hidup bermasyarakat, sudah agak menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat, dan keadaanya sudah agak stabil dan kuat; artinya mempunyai sejumlah imam, religius maupun awam pribumi, meskipun belum mencukupi, dan dilengkapi dengan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga, yang dibutuhkan untuk hidup sebagai umat Allah di bawah bimbingan uskupnya sendiri dan untuk mengembangkan diri.[1]
Pernyataan konsili ini mewarisi kepada kita empat aspek penting tentang situasi gereja lokal yang sudah bertumbuh sejak Konsili Vatikan II. Keempat situasi itu adalah: pertama, berakar dalam hidup bermasyarakat; kedua; mempunyai sejumlah imam, religius; ketiga, mempunyai awam pribumi; dan keempat, di bawah bimbingan uskupnya sendiri.
2.1. Tahap Perintis:
Misionaris perintis Wajah Kudus tiba di Flores pada tahun 1991. Mereka yang tiba adalah Suster adalah dua misionaris perintis asal Italia yaitu suster Aloisia Dalbo dan suster Lusiana Stella. Suster Lusina tinggal di Flores selama 6 tahun, dan suster Aloisia Dalbo masih setia menetap dan menjadi pewarta Wajah Kudus hingga sekarang.
Selain itu, datang juga Suster Plinia Piccolo yang menetap di Flores selama 10 atau 12 tahun, dan suster Daniela Martinello yang tinggal selama 15 tahun, serta suster Giuliana Voltolina yang menetap selama 10 tahun. Misionaris perintis datang ke Indonesia dan dihantar oleh superior jenderal Wajah Kudus Suster Tiziana sendiri. Pada tahap pertama, kedatangan mereka adalah kedatangan untuk menyesuaikan diri dengan situasi gereja lokal Indonesia khususnya di Flores.
Saat itu, Flores bukan wilayah misi perintis. Gereja di Flores sudah berkembang, dan di mana-mana sudah ada banyak kongregasi imam dan suster. Sebagai misionaris perintis, para Suster Wajah Kudus berjuang dengan segala cara untuk membangun komunikasi dengan uskup Agung ende, dengan pastor paroki Koting dan terlebih dengan umat setempat. Mereka berjuang untuk hidup secara sederhana bersama umat di Koting.
Kedatangan mereka diinspirasi oleh semangat pendiri kongregasi Beata Maria Pia Mastena, yaitu “menyebarkan, menyilih, memuliakan Wajah Yesus yang manis” di dalam diri orang-orang Indonesia. Para misionaris perintis mewartakan Wajah Kudus ke Indonesia karena Wajah Kudus adalah nama dalam pengertian Alkitabiah yang menunjukkan jati diri Yesus sendiri. Nama ini sungguh indah karena berbicara tentang satu pribadi yang hidup, Yesus Kristus. Wajah Kudus adalah Wajah Yesus yang hidup.
Para misionaris perintis mengenal dan menghayati secara sungguh jati diri kongregasi ini. Jati dirinya adalah Wajah Kudus. Jati diri ini disebut juga sebagai identitas karena telah dilegitimasi oleh gereja melalui karyanya dalam tiga tiang penting: menyebarkan, menyilih dan memulihkan Wajah Yesus. Menyebarkan ada hubungan dengan perutusan. Pada awal mula, kedatangan para suster wajah Kudus ke Indonesia adalah menyebarkan spiritualitas atau semangat Wajah Kudus di Flores.
Mereka datang dengan perjuangan yang hebat. Mereka belajar bahasa, membangun komunikasi dengan uskup, menjalin relasi yang baik dengan pastor paroki dan memahami keadaan umat yang serba sederhana dan sulit. Suster Aloisia mengenal dengan sangat baik perjuangan awal kongregasi Wajah Kudus di Flores. Perjuangan itu lebih ditandai oleh usaha untuk beradaptasi dengan situasi dan keadaan setempat.
2.2. Berakar Dalam Masyarakat
Pada awalnya, para misionaris perintis Wajah Kudus datang ke Indonesia tanpa bekal dan persiapan dari Italia. Mereka tidak disiapkan dengan pengetahuan yang mendalam tentang kebudayaan Indonesia. Waktu itu para suster datang dengan pengetahuan bahasa yang terbatas, pengenalan akan situasi dan keadaan umat sangat sedikit. Para suster berjuang mengerti dan menghargai budaya setempat. Namun beberap tahun kemudian mereka berani membuka komunitas baru di Koting, dan kemudian di Ndona,
Kedatangan para suster menggambarkan bahwa Wajah Kudus adalah sebuah kongregrasi internasional yang terbuka kepada semua orang. Keterbukaan ini ditandai oleh kerelaan para suster asal Italia untuk tinggal di Koting. Mereka berada bersama umat setempat. Mereka mulai belajar mengenal umat, menyapa orang-orang di sekitar biara, mengunjungi orang-orang tua dan mulai perlahan memikirkan rencana untuk bekerjasama dengan pastor paroki. Ini adalah salah satu cara yang paling praktis bagaimana para suster di masa-masa awal menyebarkan Wajah Kristus yang manis lewat kehadiran dan komunikasi yang baik.
Kongregasi Wajah Kudus adalah kongregasi kepausan yang terbuka kepada semua bangsa, suku, ras dan kelas sosial. Awal kedatangan para suster ke Flores dimulai dengan kesabaran menanti, melihat, mendengar dan mengalami dari dekat setiap situasi dan keadaan umat setempat. Pada saat itu, belum ada calon asal Indonesia namun para suster selalu hidup dalam kesabaran dan ketekunan dalam doa.
Selain itu, kongregasi ini adalah kongregasi misioner dengan semangat dasar untuk mewartakan Firman Tuhan yang berbicara lewat kemanusiaan yang diciptakan menurut gambaran dan rupa Allah. Gambaran Wajah Allah diwartakan dalam bentuk kehadiran, sapaan dan pemberian diri yang tulus ikhlas di tengah umat.
Semangat mewartakan Firman Tuhan yang berbicara lewat kemanusiaan yang diciptakan menurut gambaran dan rupah Allah mendorong para suster perintis pergi ke negeri yang jauh. Meskipun saat awal kehadiran di Flores, khusunya di Koting mengalami tantangan dan kesulitan, semangat ini tidak pernah pudar.
Kiprah Wajah Kudus di Flores sudah dirasakan begitu kuat dan pengaruhnya mulai menyebar ke Ndona, ke Kupang, Wakaseko dan ke Sumba. Kiprah ini sudah dirasakan akhir-akhir ini dengan berdirinya rumah formasi di Koting dan Ndona. Tujuan mendirikan rumah formasi adalah membentuk calon suster Wajah Kudus pribumi.
Secara statistik, sejak 30 tahun bekerja sebagai misionari di Indonesia, kongregasi Wajah Kudus sudah memiliki anggota berjumlah 70 suster dengan perincian sebagai berikut: ada 55 suster berkaul kekal, 15 suster yuniores dan ada 5 novis. Dari antara mereka, ada 26 suster Wajah Kudus yang bekerja di luar negeri.
Pemimpin kongregasi sudah menyadari betapa pentingnya para suster Wajah Kudus yang berasal dari Flores, Timor dan Sumba. Ini adalah tanda keterbukaan dan internasionalitas Wajah Kudus. Keterbukaan ini sesuai dengan apa yang dikatakan dalam Konstitusi Kongregasi bahwa “semua orang dipanggil untuk menjadi serupa dengan Gambaran-Nya,” dan “Roh Kudus memulihkan di dalam kita gambaran Allah yang sesuai dengan Wajah Kristus.”[2]
3. Menjadi Saksi Wajah Allah
Konstitusi Kongregasi menggambarkan dasar panggilan para suster Wajah Kudus sebagai saksi Wajah Allah di dunia. Panggilan setiap suster Wajah Kudus adalah “menjadi serupa dengan gambaran Yesus” karena “Yesus adalah gambaran sejati dari Allah yang tak kelihatan.”[3] Saksi Wajah Allah adalah dia yang menyebarkan, menyilih dan memulihkan Wajah Allah dalam diri manusia. Hal ini dilakukan melalui keberpihakan pada orang jompo, orang sakit, orang yang ditinggalkan sendirian, orang miskin dan anak-anak.
Selain itu, saksi Wajah Allah adalah dia yang hidup dari Sabda Allah, mewartakan Sabda melalui cara hidup yang didasarkan pada teladan Yesus Kristus, kepenuhan segala ciptaan dan pada misteri Salib serta kebangkitan-Nya.”[4] Hidup dari Sabda Allah berarti hidup dari pancaran Wajah Yesus yang menyinari orang-orang kecil. Cara hidup ini dijalankan sebagai bentuk penyilihan. Semuanya adalah “pengalaman akan kasih dalam kontemplasi tentang Wajah Kudus” sesuai dengan spiritualitas yang berakar pada semangat pendiri Beata Maria Pia Mastena.
Bagi gereja lokal di Indonesia, khususnya Flores, Sumba dan Timor, kehadiran Kongregasi Wajah Kudus dialami sebagai anugerah dari besar Tuhan yang sangat istimewah. Anugerah ini dialami dalam bentuk pelayanan pastoral, pendidikan dan karya sosial karitatif. Kesaksian hidup para suster Wajah Kudus kini mulai dirasakan dan dialami oleh banyak orang di kepulauan Flores, Sumba dan Timor. Semua bentuk kesaksian para suster diwartakan sesuai dengan maksud pendiri yaitu solo la gloria di Dio,[5] yaitu hanya demi kemuliaan Allah.
Menjadi saksi Wajah Kristus berarti menjadi pewarta kemuliaan Allah di dunia. Pewarta kemuliaan Allah adalah mereka yang telah menyadari diri mereka “serupa dengan Kristus Imam dan Korban persembahan di dalam seluruh pengungkapan hidup, serentak menyatukan diri dengan Misteri Paskah Kristus Tuhan.”[6]
Saksi Wajah Kristus adalah juga saksi kemanusiaan di dunia. Untuk itu para suster Wajah Kudus terlebih dahulu mengalami persatuan dengan sengsara Kristus sebagai dasar penyempurnaan diri. Hal ini dapat dihayati melalui pemberian diri yang utuh, sempurna, dan tanpa cacat. Pemberian diri adalah hadiah yang paling istimewah bagi Tuhan dan sesama. Panggilan menjadi suster Wajah Kudus hatus dihayati sebagai suatu pemberian diri.
Seorang saksi Wajah Allah adalah seorang yang telah menghayati hidupnya sebagai suatu pemberian. Ia menjadikan seluruh dirinya, bakat dan kemampuan sebagai suatu hadiah bagi Allah dan untuk sesama yang lain. Pendiri kongregasi Wajah kudus Beata Maria Pia Mastena menulis dengan sangat indah tentang amore alle soferenza[7] - kasih akan penderitaan sebagai tanda pemberian diri yang luar biasa seperti Kristus di salib.
Kasih akan penderitaan adalah kasih ilahi. Kasih ini terjadi melalui pengorbanan, yaitu “mempersembahkan diri sendiri dan … membawa di dalam tubuh kita kematian Yesus” agar “kita menyilih dosa kita dan dosa dunia.”[8] Persembahan diri dalam kasih Yesus perlu dihayati sampai akhir hidup. Penghayatan ini berujung pada apa yang disebut oleh Beata Maria Pia Mastena sebagai la morte mistica di noi stessi,[9] atau kematian mistik di dalam diri kita. Kematian mistik adalah kematian di dalam Tuhan bagi mereka yang telah mengalami pancaran Wajah Kristus di dalam diri dan hidupnya.
Melakukan kehendak Allah adalah kesukaan bagi mereka yang telah mengalami pancaran Wajah Kristus di dalam hidupnya. Melakukan kehendak Allah berarti “membaktikan diri untuk memancarkan Wajah Kristus pada pertolongan bagi yang menderita”[10] dan mengalami diri sebagai vittima in atto,[11] artinya seorang saksi Wajah Allah adalah seorang yang sungguh berkorban dalam seluruh cara hidup dan tugas perutusannya di tengah dunia. Lakukanlah semua tugas perutusan sebagai bentuk partisipasi dengan penderitaan Yesus di Salib dan ini merupakan jalan terbaik untuk menjadi saksi Wajah Kristus.
Menjadi saksi Wajah Kristus harus pertama-tama menimba inspirasi yang baik dari Kristus di salib. Beata Maria Pia Mastena menulis dengan sangat indah tentang le buone ispirazione,[12] yaitu inspirasi indah yang berasal dari sumber tersuci, yaitu dari Wajah Allah yang meresap masuk ke dalam diri kita dan membuat kita sanggup mendengarkannya dan taat pada Dia.
Sikap mendengarkan dan taat pada Tuhan adalah tanda kerendahan hati dan kesetiaan, umiltá e fiducia[13] pada Wajah Allah. Tanda ini dapat dibaca dan dimengerti melalui kesadaran tentang kehampaan diri kita (il nostro nulla), kesadaran tentang belaskasih (la miseria)[14] yang memungkinkan kita bersatu dengan kehampaan diri dan belaskasih Kristus di salib.
Seorang saksi Wajah Allah adalah dia yang telah mengalami silenzio interiore,[15] yaitu kesunyian diri yang mendalam, yang telah menjadi bagian dari latihan rohani untuk mencapai kesempurnaan. Beata Maria Pia Mastena berkata il silenzio è il fundamento di tutta la vita spirituale,[16] karena melalui silentium, kesunyian diri, seseorang dapat memetik hasil kerohanian, dan hasil itu menjadi dasar devosi, lalu devosi itu menjadi kekuatan doa atau orasi, dan selanjutnya doa atau orasi itu menyatukan dia dengan Allah dalam kesempurnaan hidupnya.
4. Diutus Oleh Wajah Allah
Secara pastoral, kehadiran kongregasi Wajah Kudus di Indonesia selama 30 tahun disebakan oleh pancaran Wajah Allah yang selalu hidup melalui kegiatan pastoral, pendidikan, kunjungan orang jompo, orang sakit dan anak-anak. Betapa senangnya orang-orang di kampung ketika para suster mengunjungi mereka, memberi penghiburan, peneguhan dan berada bersama. Persahabatan dengan orang-orang kecil adalah tanda kehadiran Wajah Allah melalui kunjungan para suster.
Para suster adalah utusan Wajah Allah untuk berjumpah dengan kemanusiaan yang nyata dalam diri orang-orang jompo, anak-anak dan mereka yang ditinggalkan sendiri. Mereka mengalami kemanusiaan melalui sapaan, senyum dan pemberian diri yang tulus.
Kehadiran mereka adalah kehadiran yang dijiwai oleh pancaran kasih dari Wajah Allah yang mereka hayati sebagai spiritualitas dasar. Dewasa ini kehadiran para suster di Koting, Wakaseko, Ndona, Kupang dan Sumba sungguh membawa sesuatu yang baru dan meneguhkan iman umat setempat. Mereka hadir dengan semangat religius-misioner yang luar biasa khususnya lewat penghayatan hidup berkomunitas dan penghayatan kaul-kaul.
Para suster diutus oleh Wajah Allah dalam semangat pewartaan Firman Tuhan kepada umat setempat. Pengaruh perutusan mereka dapat dirasakan oleh semua orang yang mengalami kehadiran yang menghibur, membawa sukacita, dan yang menyembuhkan.
Diutus oleh Wajah Kristus untuk mengalami kasih hanya mungkin terjadi melalui kebiasaan mengkontemplasi Wajah Allah dalam setiap langkah kehidupan. Kontemplasi Wajah adalah dasar spiritualitas untuk menemukan nilai kerohanian dan nilai penebusan. Kita hanya dapat memahami apa itu penyilihan dan penebusan jika kita sendiri telah bersatu dalam kontemplasi Wajah Allah melalui Wajah Kristus sebagai sumber penyilihan.
Wajah Kristus di salib adalah wajah penebus. Wajah Kristus di salib adalah wajah yang menyilih dosa-dosa manusia. Wajah Kristus di salib adalah wajah kemanusiaan universal karena wajah itu yang membebaskan semua manusia. Wajah Kristus di salib adalah wajah kaum janda, wajah yatim piatu, wajah orang-orang yang ditinggalkan. Wajah Kristus di salib adalah wajah orang-orang asing yang kehilangan tempat tinggal dan merana.
Ditusus oleh Wajah Allah berarti diutus oleh kekuatan spiritualitas Salib. Dalam catatannya tentang spiritualitas salib, Beata Maria Pia Mastena berbicara tentang mortificazione - crocifiso, yaitu kesadaran diri setiap pengikut Wajah Kudus tentang dirinya sebagai kekasih dari yang tersalib (sposa del Crocifisso), yaitu kekasih yang selalu siap menyerupai Dia dalam segala bentuk penderitaan dan juga kematian.
Ini adalah jalan kekudusan para pengikut Wajah Kudus. Jalan itu ditempuh melalui tahap-tahap seperti: kerendahan hati (l’umiltà), kasih yang sempurna (perfetta carità), senantiasa berjaga-jaga (vigilanza), dan berdoa (preghiera)[17] demi kesempurnaan diri.
Para suster Wajah kudus diutus oleh Wajah Allah untuk membawa testimonianze,[18] yaitu kesaksian-kesaksian tentang kekudusan dalam unione con il Santo Croce,[19] persekutuan dengan salib Suci. Tujuan dari kesaksian dalam persekutuan dengan Salib Suci ini adalah “pembentukan ciptaan baru dalam kekudusan dan keadilan, sekaligus memulihkan Wajah Allah dalam diri manusia.”[20] Hal ini dapat kita saksikan dalam karya dan perutusan para suster Wajah Kudus di Koting, Ndona, Wakaseko, Kupang dan Sumba.
5. Memulihkan Wajah Allah Dalam Diri Manusia
Panggilan untuk memulihkan Wajah Allah dalam diri manusia dihayati oleh para suster Wajah Kudus melalui karya pastoral yang “memperhatikan terutama orang-orang miskin yang dirundung kemalangan, terserang penyakit dan tersisihkan karena dosa dan ketidakadilan.”[21] Selama 30 tahun, karya pastoral Wajah Kudus yang dijalankan di Flores, Timor dan Sumba memiliki sasaran pada orang-orang miskin, jompo, anak-anak dan mereka yang sakit. Mereka semua adalah kelompok orang yang tidak berdaya di mata masyarakat. Ketidakberdayaan mereka menyapa dan berbicara tentang kemanusiaan.
Dalam catatannya, Beata Maria Pia Mastena berbicara tentang dimensi spiritualitas dari hal yang kecil menuju hal yang besar di hadapan Allah. Demikian Beata Maria Pia berbicara tentang Da piccola, grande,[22] artinya setiap bentuk pemulihan Wajah Allah dimulai dari hal-hal kecil, sederhana, dari yang tidak diperhatikan. Dalam konteks kemanusiaan, kita menimba aspek kerohanian dalam tindakan pemulihan dan pembebasan kepada mereka yang ditinggalkan, orang-orang jompo, kaum miskin, janda dan yatim piatu serta anak-anak.
Realitas hidup mereka berbicara tentang kemanusiaan. Kenyaaan hidup mereka meminta kita untuk membawa cahaya Wajah Tuhan, cahaya yang memancarkan kasih dan keadilan. Kasih dan keadilan dibangun melalui jalan damai. Oleh karena itu, beata Maria Pia berbicara tentang la via della pace,[23] atau jalan damai sebagai jalan kebenaran dalam kasih dan keadilan. Sesungguhnya kasih dan keadilan harus selalu dibangun di atas dasar damai. Pada Salib itu, kita melihat Wajah Allah sebagai wajah yang damai, wajah keadilan dan wajah yang penuh kasih.
Damai yang dimaksudkan di sini adalah damai di dalam roh. Pace nel tuo spirito.[24] Para pengikut Wajah Kudus memulihkan Wajah Allah sebagai tanda pemberian diri mereka yang istimewah. Sejak tahun 1991, suster Aloisia meninggalkan tanah air Italia, datang menyebarkan, menyilih dan memulihkan Wajah Allah di Flores, Timor dan Sumba. Dia datang dengan membawa spiritualitas Wajah. Spiritualitas itu berbicara tentang semangat carità in offerta.[25] Spiritualitas Wajah adalah spiritualitas pemberian diri. Pemberian itu datang dari kekayaan diri yang luar biasa untuk memuliakan Allah dan menyapa sesama manusia.
Karya perutusan kongregasi Wajah Kudus adalah “membaktikan diri untuk memancarkan Wajah Kristus pada pertolongan bagi yang menderita.”[26] Pancaran Wajah Kristus yang transenden dan tak berhingga dapat dialami ketika para sustermelakukan tindakan kemanusiaan yang membebaskan dan menyelamatkan sesama yang lain. Pancaran itu dilihat sebagai epifani atau manifestasi yang transenden di dalam diri sesama yang menderita dan tidak berdaya.
6. Wajah Allah Berbicara
Dalam setiap dimensi kemanusiaan, khususnya dalam diri orang-orang kecil, kaum jompo, janda, yatim piatu dan anak-anak, kita menyaksikan cahaya Wajah yang berbicara. Kemiskinan dan penderitaan adalah realitas di mana Allah hadir dan berbicara kepada kita.
Kemiskinan dan penderitaan adalah penyingkapan ketakberhinggaan Allah (infinità) dalam bentuk wajah manusia yang menderita. Penyingkapan itu terjadi secara lurus, langsung dan tanpa mediasi. Realitas kemanusiaan berbicara tentang transendensi Allah karena setiap penderitaan membawa kita kepada persatuan dengan penderitaan Yesus di Salib.
Orang-orang miskin, kaum jompo, janda, yatim piatu dan anak-anak yang tidak berdaya, hadir di antara kita dan kehadiran mereka dapat kita alami sebagai suatu kehadiran yang polos, tanpa perlindungan. Mereka hadir tanpa pembelaan diri. Mereka hadir dengan seluruh diri yang tidak berdaya. Semua bentuk kehadiran mereka membahasakan sesuatu. Mereka berbicara lewat kehadiran mereka yang menderita dan tak berdaya.
Bahasa yang keluar dari mulut mereka adalah bahasa diri tentang kepolosan dan ketakberdayaan. Kehadiran mereka seperti orang yang telanjang karena mereka hadir tanpa perlindungan diri. Filsuf Prancis, Emmanuel Levinas berbicara tentang sans defénse,[27] yaitu suatu kehadiran dari janda, yatim piatu, orang asing dan kaum miskin yang tanpa perlindungan dan tanpa pembelaan diri sedikitpun.
Wajah berbicara tentang kemanusiaan, yaitu kemanusiaan yang terpuruk oleh ketidakadilan di antara sesama manusia. Kemanusiaan itu membahasakan sesuatu yang perlu ditanggap melalui respons. Respons adalah jawaban atas panggilan dari Wajah untuk memberi tanggungjawab kepada sesama yang tidak berdaya dan ditinggalkan. Panggilan misioner kita sebagai orang-orang yang berkaul adalah memberi respons dalam responsibility, yaitu tanggungjawab etis membela kemanuisaan dan menjaga keutuhan ciptaan.
7. Refleksi Penutup
Sebagai refleksi penutup untuk memperingati 30 tahun kehadiran kongregasi Wajah Kudus di Indonesia, mari kita merenungkan lagi makna firman Tuhan ini: Faciem Tuam, Domine, requiram atau wajahMu, kucari ya Tuhan, wajahMu kucari.
Ini adalah suatu kerinduan iman, yang dewasa ini sangat dibutuhkan oleh orang yang berada dipanggil oleh Tuhan. sebagai orang-orang terpanggil dan berkaul, para suster memilik kerinduan untuk melihat, menyentuh dengan tangan, menyapa dari dekat, dan mengalami secara paling intim misteri kebenaran dalam iman.
Para suster Wajah Kidus telah dan sedang menjalani hidup, mengalami keseharian sebagai misionaris yang sering juga jatuh ke dalam kepenatan dan kejenuhan hidup. Para suster juga mengalami bersama umat seluruh situasi dan jeritan serta kekurangan-kekurangan di dalam hidup. Rentang waktu 30 tahun adalah kesempatan di mana para suster menyaksikan bagaimana umat di sekitarnya mengalami situasi yang susah dan sulit.
Di tengah pandemik ini, banyak orang berjuang untuk mengambil jarak satu sama lain, sementara tidak sedikit yang rindu untuk berada bersama, saling menyapa, melemparkan senyum, dan saling menolong. Ada juga yang suka untuk mengambil waktu jedah, beristirahat dalam sunyi, masuk dalam rindu yang tidak terjawab.
Dunia iman mengajarkan satu jalan lain, yaitu jalan untuk bertemu dengan Tuhan secara paling unik, khas dan personal. Dalam pengakuannya yang paling pribadi, Confessiones, Santo Agustinus berkata, “Jiwaku tidak akan tenang, kalau aku tidak menemukan tempat yang nyaman di dalam Tuhan.” Namun pertanyaan yang paling mendasar adalah, siapa yang dapat menunjukkan Tuhan sesungguhnya kepada kita? Bagaimana kita dapat bertemu Tuhan?
Jawabannya hanya ada satu, yaitu lewat Yesus Kristus. Yesus berkata “Barangsiapa melihat Aku, ia melihat Bapa.” (Yoh. 14: 9) Sejalan dengan ini, saya teringat perkataan Blaise Pascal. “Di luar Yesus Kristus kita tidak mengenal siapa itu Tuhan, dan bahkan tidak dapat mengenal siapakah kita.”
Dalam terang kebenaran iman, kita mempunyai jalan. Jalan itu hanya satu. Yesus Kristus. Pertanyaan yang paling besar adalah bagaimana kita bertemu Yesus dalam situasi hidup kita? Pertanyaan ini mengundang kita untuk merenungkan misteri Wajah Ilahi. Misteri itu ada, namun tersembunyi. Misteri hadir, namun tetap selalu absen.
Suster Aloisia memberi saya sejumlah seri buku dengan judul yang sama: Volto dei Volti Cristi-yaitu wajah dari semua wajah Kristus. Kalau saya boleh mengerti dari aspek yang lain, pernyataan ini dapat dijelaskan dengan cara lain: yaitu bahwa “Dia tidak mempunyai Wajah karena semua wajah adalah Dia.”
Lewat Yesus dari Nazaret, misteri Wajah Allah diperlihatkan. Istilah teologinya adalah epifani. Pewahyuan. Yesus adalah pewahyuan wajah Allah yang paling sempurna. Santo Ambrosius menulis, “Engkau sendiri menujukkan kepadaku, oh Kristus, dari muka ke muka. Saya sendiri bertemu dengan Engkau secara intim dalam sakramenMu.”
Melalui ekaristi kudus, kita bertemu secara paling intim dan misterius dengan wajah Kristus. Inilah kekuatan dan iman kita. Paus Yohanes Paulus II, menulis tentang kebenaran yang memberi cahaya. Kebenaran itu ada di dalam cahaya Wajah Tuhan. “Cahaya Wajah Tuhan memancar dalam semua keindahanNya melalui Wajah Yesus Kristus.
Kita yang beriman kepada Tuhan, dan sebagai murid-murid Kristus, kita mendapat pancaran cahaya Wajah Tuhan dalam iman dan hidup kita. Karena itu kita membutuhkan testimoni tentang Wajah Tuhan dalam kehidupan kita.
Testimoni atau kesaksian untuk menghadirkan Wajah Tuhan adalah panggilan kita bersama. Panggilan ini berawal dari suatu devosi. Devozione al santo Volto. Pendiri kongregasi ini mempunyai devosi kepada Wajah Kudus. Seluruh dirinya, misinya, terarah hanya kepada Wajah Kudus. Meskipun ia menyadari bahwa perjumpaan dengan Wajah Kudus akan sempurna pada akhir zaman, yaitu ketika semua sejarah manusia berakhir di dalam Tuhan, namun kini, kita semua dipanggil untuk selalu terarah kepada Wajah Tuhan melalui wajah kemanusiaan universal.
Akhirnya, Ad multos Annos Suster-Suster Wajah Kudus.
Salam Wajah Kudus
[1] Teks ini diambil dari Dokumen Konsili Vatikan II, terjemahan R. Hardawiryana, Jakarta: Obor, 1993.
[2] Konstitusi Kongregasi Wajah Kudus, hlm. 18-19.
[3] Ibid., hlm. 18.
[4] Ibid.
[5] Luci da Luce, Lettere e Pensieri Spirituali della venerata madre Maria Pia Mastena, Treviso: casa generalizia Religiose del Santo Volto, Hlm. 25
[6] Konstitusi Kongregasi Wajah Kudus, hlm. 19.
[7] Luci da Luce hlm. 42.
[8] Konstitusi Konggregasi Wajah Kudus, hlm. 19-20.
[9] Luci da Luce, hlm. 42.
[10] Konstitusi Kongregasi Wajah Kudus, hlm. 21.
[11] Luci da Luce, hlm. 43.
[12] Ibid. hlm. 44.
[13] Ibid.
[14] Ibid. hlm. 45.
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid., hlm. 45-46.
[18] Ibid., hlm. 65.
[19] Ibid.,m hlm 67.
[20] Konstitusi Kongregasi Wajah Kudus, hlm. 20.
[21] Ibid. hlm. 21.
[22] Luci da Luce, hlm. 54.
[23] Ibid., hlm. 79.
[24] Ibid.
[25] Ibid. hlm. 80.
[26] Konstitusi Kongregasi Wajah Kudus, hlm. 21.
[27] Emmanuel Levinas, Éthique et Infini, hlm. 80.